SILATURAHMI FORDEM BERKEMAJUAN KENDAL

Khafid Sirotudin

Bertempat di rumah makan Kampung Rasa Weleri, Ahad siang 22 Oktober 2023, Forum Demokrasi (Fordem) Berkemajuan Kendal mengadakan silaturahmi kebangsaan. Diikuti 50-an orang yang berkhidmat di berbagai lapangan kebangsaan : pegiat demokrasi elektoral, LHKP PDM Kendal, penyelenggara pemilu tingkat kabupaten, kecamatan dan kelurahan/desa, serta perangkat desa. Berdasarkan undangan yang dikirimkan, saya diminta menjadi nara sumber bersama Nostalgiawan Wahyudi, peneliti BRIN yang juga Ketua LHKP PDM Kendal, dan Nurul Akhirin anggota KPU Kabupaten Kendal.

Fordem Berkemajuan adalah sebuah forum yang lahir tahun 2018, sebagai tempat atau wadah berhimpun kader/warga/simpatisan persyarikatan yang berkhidmat sebagai pegiat demokrasi elektoral (penyelenggara, peserta dan pemantau pemilu), komisioner berbagai lembaga negara tingkat provinsi (KPID, KIP, KPAI, ORI), jurnalis, serta akademisi yang menekuni ilmu hikmah dan kebijakan publik. Fordem Berkemajuan diinisiasi oleh beberapa anggota pimpinan LHKP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik) PWM Jawa Tengah periode 2015-2022. Keberadaan Fordem Berkemajuan yang kami lahirkan setidaknya melalui beberapa pertimbangan dibawah ini.

Pertama, sense of politic warga persyarikatan masih relatif rendah.
Hal ini tercermin setidaknya dari keberadaan LHKP di tingkat PDM se Jawa Tengah periode 2015-2022 yang hanya berjumlah 10 dari 35 PDM kabupaten/kota. Artinya sebagian besar PDM se Jateng “belum menganggap” LHKP sebagai lembaga strategis yang dibutuhkan. Meminjam ungkapan Ketua PWM Jateng, Dr. KH. Tafsir, M.Ag. “kebanyakan warga Muhammadiyah Jateng masih menjadi politisi kelas Whatapps Group”.

Kedua, daya literasi dan indeks demokrasi yang masih rendah.
Hal mana bisa kita lihat dari jejak digital berupa tulisan, artikel dan opini terkait demokrasi elektoral di berbagai media publik. Juga sedikitnya konten, meme, flyer dan postingan dari pimpinan Persyarikatan dan UPP/MLO (Unit Pembantu Pimpinan/Majelis-Lembaga -Ortom) di tingkat Wilayah, Daerah dan Cabang pada tahapan dan pelaksanaan Pemilu 2019 lalu. Dimana suasana saling menghujat dan membully, fenomena kampret-cebong-kadrun dan saling “menyerang” antar warga dan jamaah “Majlis Taklim Sosmediyah” Muhammadiyah terjadi. Sebuah situasi dan kondisi yang memprihatinkan PWM Jateng.

Meski PP Muhammadiyah melalui MPI (Majelis Pustaka dan Informasi) telah membuat pedoman atau kaidah etika sosmediyah bagi netizen warga persyarikatan, namun berbagai postingan dhaif dan maudhu’ (hoax) masih sangat banyak dijumpai. Anjuran agar “Saring sebelum Share” tak banyak berpengaruh bagi sebagian kalangan “aktivis sosmed”. Seakan mereka lupa dengan sesanti atau pesan “ajining diri seko obahing driji” (kita menjadi bernilai atau tidak, terlihat dari apa yang dilakukan jari jemari dalam bersosmed).

Baca Juga:  Muhammadiyah Kebumen Gelar Diskusi RPJMD, Fokal IMM Turut Berperan

Ketiga, minimnya minat dan kemauan kader/warga Muhammadiyah menjadi Peserta dan Penyelenggara pemilu.
Masih sedikit warga yang mau berkiprah sebagai Peserta Pemilu, baik sebagai Calon Legislatif (DPD, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota) dan Eksekutif (Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota). Begitu juga sebagai Penyelenggara Pemilu : KPU dan Bawaslu di berbagai tingkatan, sebagai komisioner tetap tingkat Provinsi dan Kabupaten atau Kota, maupun ad-hock (PPK, Panwascam, PPS, PKD, KPPS).

Pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 (Rabu, 9 Desember 2020) untuk 21 Kabupaten/Kota se Jateng, menurut catatan kami hanya ada 3 kandidat Cakada/Cawakada yang berlatar belakang kader/warga Muhammadiyah. Sedangkan kader/warga persyarikatan yang terlibat menjadi Penyelenggara Adhock Pilkada serentak di tingkat kecamatan belum mencapai 20 persen.

Kami pernah beberapa kali mengumpulkan cukup banyak kader AMM di beberapa daerah di Jawa Tengah agar mereka mau dan bersemangat untuk berkiprah sebagai penyelenggara pemilu adhock tingkat kecamatan (PPK dan Panwascam). Bahkan kami berikan fasilitasi dan advokasi bagi mereka yang mau mendaftarkan diri, mengingat sebagian besar belum memiliki pengalaman sebagai PPS, KPPS atau Pemantau Pemilu Independen. Hasilnya hanya 10-15 persen dari mereka yang mau mendaftarkan diri. Itupun masih ada sebagian yang minta dibiayai untuk sekedar memenuhi persyaratan administrasi (legalisir ijazah, foto copy, SKCK, Surat Keterangan Sehat, meterai). Bandingkan dengan aktivis dari generasi muda Ormas sebelah yang berbondong-bondong mendaftarkan diri dan berani mengeluarkan biaya pribadi.

Keempat, masih adanya budaya instan dalam demokrasi.
Dalam kehidupan demokrasi, ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh kontestan dan pegiat demokrasi, baik sebagai Peserta maupun Penyelenggara Pemilu. Yaitu perlunya seseorang memiliki ilmu, ketrampilan dan pengalaman yang cukup sesuai bidang pengabdian yang hendak dilakoni.

Baca Juga:  Dapil dan Alokasi Kursi DPRD Klaten untuk Pemilu 2024

Seorang calon legislatif musti memiliki modal sosial dan budaya, komunikasi, kemampuan berorganisasi, memahami norma (UU, Peraturan) yang berlaku dalam pemilu, kemampuan politik elektoral, serta “fund-raising” berupa dukungan finansial yang memadai. Ada ungkapan yang terkenal di kalangan aktivis politik : “logika tanpa logistik hasilnya fatalistik”. Bukankah tingkat elektabilitas (dipilih) seorang kandidat ditentukan oleh 3 variabel, yaitu popularitas (dikenal), akseptabilitas (diterima) dan isi tas (logistik). Meski faktanya variabel akseptabilitas menjadi faktor utama keterpilihan seseorang (60-70 persen), namun seringkali aspek popularitas dan isi tas justru dijadikan faktor penentu utama elektabilitas (keterpilihan) seorang kandidat (30-40 persen).

Sebagai calon Penyelenggara Pemilu, seringkali kita lupa bahwa calon komisioner KPU dan Bawaslu di tingkat Pusat berujung nasibnya pada fit and proper test di Komisi II DPR. Artinya meski bukan sebagai lembaga politik, KPU dan Bawaslu sangat terkait erat dengan kepentingan politik dari “petugas parpol” yang duduk di DPR. Begitu pula dengan proses seleksi Bawaslu dan KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota. Kita musti faham, penentuan komisioner penyelenggara pemilu di semua tingkatan merupakan apointed official, bukan selected official sebagaimana kontestasi sebagai calon Kepala Daerah (eksekutif) maupun calon anggota legislatif.

Mau Dibawa Kemana ?

Dalam sesi tanya jawab pada silaturahmi kebangsaan Fordem Berkemajuan Kendal di Weleri, ada satu peserta yang bertanya : mau dibawa kemana fordem berkemajuan ini ? Dengan gurauan saya jawab mau dibawa ke surga melalui pintu “Babul-Siyasah”. Sebagaimana para ahli fikih telah memformulasikan kaidah fikiyah tentang siyasah, yang menyatakan bahwa mengelola dan mengurus bangsa dan negara (politik kebangsaan) itu “hirasatud-din wa siyasatud- dunya” (menjaga agama dan mensiasati dunia).

Barangkali demokrasi bukanlah sebuah sistem terbaik untuk menghasilkan seorang pemimpin bagi rakyat di sebuah daerah atau negara. Tetapi itulah yang telah menjadi kesepakatan kita sebagai warga bangsa. Melalui pemilu 2024 akan dihasilkan pemimpin negara, pemerintahan dan para wakil rakyat, yang secara kuantitatif paling banyak dipilih oleh rakyat yang telah menggunakan hak pilihnya.

Baca Juga:  Dapat Gelar Kanjeng Raden Arya Tumenggung, Cak Nanto: Budaya Bagian Penting dari Dakwah Islam Berkemajuan

Sebagai warga persyarikatan kita telah terbiasa melakukan “pemilu” memilih Formatur 13 saat Muktamar, Muswil, Musda, Muscab dan Musran untuk kemudian menentukan PP, PW, PD, PC dan PR Muhammadiyah. Hanya bedanya, di berbagai jenjang dan tingkatan permusyawaratan Muhammadiyah kita tidak pernah menjumpai adanya money politic, black campaign, caracter assasination terhadap para calon kandidat pimpinan yang diusulkan dari bawah. Tentu saja ada perbedaan apabila dibandingkan dengan kontestasi demokrasi elektoral dalam pemilu legislatif, pilpres dan pilkada serentak yang kandidatnya seringkali diusung oleh pusat (atas), serta abai usulan dari bawah.

Tetapi kami yakin, kehadiran kader dan warga persyarikatan sebagai penyelenggara pemilu di setiap tingkatan akan mampu mewarnai usaha mewujudkan demokrasi yang substansif, bukan demokrasi prosedural yang jauh dari nilai-nilai keadaban. Melalui Fordem Berkemajuan para kader, warga dan simpatisan persyarikatan di Jawa Tengah bisa saling asah, asih dan asuh, diantara pegiat Demokrasi Pancasila. Yaitu sebuah demokrasi yang dilandasi semangat dan nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan, Hikmah dan Kebijaksanaan, Kejujuran dan Keadilan (fairness).

Kesadaran baru kader dan warga persyarikatan untuk ikut berperan (bukan baperan) dalam politik kebangsaan yang berkeadaban, setidaknya tercermin dari sebagian besar PDM periode Muktamar ke-48 membentuk LHKP dan semakin berkembangnya Fordem Berkemajuan di berbagai daerah se Jawa Tengah. Biarlah LHKP menjadi lembaga yang mewadahi kader formal- struktural. Sedangkan Fordem Berkemajuan mewadahi kader/warga/simpatisan Muhammadiyah kultural atau non formal.

Banyak aktivis Fordem Berkemajuan yang berlatar belakang non AMM (IPM/IMM/PM/NA) maupun berasal dari beberapa entitas tertentu, diantaranya : MuNU (Muhammadiyah-NU), Marmud (Marhaen-Muhammadiyah), bahkan ada beberapa orang dari Krismuha (Kristen Muhammadiyah). Sudah semestinya LHKP dan Fordem Berkemajuan Jawa Tengah melakukan kolaborasi dan bersinergi agar semakin tinggi angka “melek politik” dan tingkat partisipasi politik dari pimpinan dan kader Muhammadiyah, serta semakin banyak warga/simpatisan persyarikatan yang berkiprah di berbagai lapangan pengabdian kebangsaan.
Wallahu’alam

Weleri, 22 Oktober 2023

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *