Khafid Sirotudin
Ahad, 10 Desember 2023, saya diundang untuk memberikan semangat kepada 14 PRM yang akan dikukuhkan PCM Boja. Bertempat di aula SMK Muhammadiyah 2 Boja. Dari sejumlah PRM yang hadir, saya banyak melihat wajah baru yang berkhidmat di PRM. Sebuah keadaan dan harapan yang baik bagi perkembangan persyarikatan di kabupaten Kendal yang berbatasan wilayah dengan kecamatan Mijen kota Semarang. Secara sosial budaya masyarakat di dua kecamatan ini relatif sama.
Sekedar menjadi pengetahuan umum, bahwa sebelumnya kecamatan Mijen dan Tugu (sekarang menjadi 4 kecamatan : Tugu, Mangkang, Ngaliyan dan Mijen) termasuk wilayah kabupaten Kendal. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 1976, wilayah kota Semarang menjadi lebih luas dengan mengambil wilayah tetangganya, yaitu Kendal, kabupaten Semarang dan Demak. Maka secara geo-kultural, masyarakat di kecamatan Mijen mirip bahkan nyaris sama dengan masyarakat Boja yang berada di dataran tinggi. Produk pertanian dan perkebunan banyak dihasilkan dari wilayah Boja dan Mijen.
Sejak menjadi aktivis Pimpinan Daerah Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan Pemuda Muhammadiyah Kendal, kami sering turba (turun ke bawah) ke Boja, Limbangan dan Singorojo. Tiga kecamatan di wilayah Kendal Timur-Selatan yang berbatasan dengan kota dan kabupaten Semarang. Pada waktu itu (1986-2000), di Boja telah berdiri MI, SMP dan SMA Muhammadiyah. Sedangkan di Limbangan, yang berbatasan dengan Sumowono kabupaten Semarang, telah berdiri SMP Muhammadiyah.
Setiap tahun PDIPM datang ke SMP dan SMA Muhammadiyah untuk mengadakan MABICA (Masa Bimbingan Calon Anggota) dan MAPERTA (Masa Perbekalan Anggota) IPM bagi pelajar SMP/SMA Muhammadiyah yang baru masuk dan mau lulus sekolah. Ketika menjadi Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Kendal (1998-2002) kami pernah mengadakan Diklatsar Kokam di Singorojo dan program Resolusi Konflik NU-Muhammadiyah di Boja 1999/2000. Sebuah program hasil kolaborasi PD-PM dan PC-GP Anshor Kendal.
Resolusi konflik adalah kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya, dan merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral masyarakat. Resolusi konflik membutuhkan ketrampilan dan penilaian untuk bernegosiasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan. Program Resolusi Konflik NU-Muhammadiyah dilaksanakan selama sebulan penuh pada bulan ramadhan. Yakni dengan cara menempatkan seorang kader Pemuda Muhammadiyah dan seorang kader GP Anshor di setiap desa se Boja.
Mereka berdua (1 PM & 1 GP Anshor) ditempatkan sebagai imam, khatib dan mubaligh yang bermukim di setiap masjid jami’ yang berada di tiap desa. Setiap hari, kader PM dan GP Anshor, secara bergantian menjadi imam sholat Subuh dan Tarawih. Jika kader GP Anshor yang menjadi imam sholat Subuh tentu memakai qunut. Begitu pula jika kader PM yang menjadi imam sholat Tarawih, maka menggunakan 11 rakaat. Silakan dibayangkan sendiri interaksi sosial keagamaan seperti apa yang terjadi di lapangan pada waktu itu.
Dengan pola demikian, maka proses “berjamaah” dalam menjalankan ibadah shalat fardhu (utamanya Subuh dan Isya’), puasa ramadhan dan ibadah sunnah (sholat tarawih) bisa berjalan dengan penuh kebersamaan dalam satu masjid. Interaksi warga Nahdhiyin dan Muhammadiyah bisa terjalin secara alamiah, kultural dan mengikuti proses Sunatullah untuk saling : ta’aruf (mengenal), tafahum (memahami), tasamuh (toleran), ta’awun (bekerjasama) dan takaful (saling melindungi). Salah satu alumni program tersebut adalah H. Ihsan Intizam (Ketua PDM Kendal) yang pada waktu itu baru lulus dari Universitas Al-Azhar Mesir.
Pengembangan Ranting
Ada berbagai pertanyaan seputar sulitnya mengembangkan ranting Muhammadiyah di akar rumput, terutama di pedesaan. Kami menjadi mafhum ketika saat ini masih terdapat 4 desa di kecamatan Boja yang belum berdiri PRM. Padahal MI (sekarang berubah menjadi SD), SMP, SMA dan SMK Muhammadiyah Boja telah menghasilkan ribuan lulusan yang berasal dari seluruh desa yang ada.
Kami menengarai adanya kenyataan ini disebabkan dakwah Muhammadiyah di akar rumput kurang luwes dan kultural. Mubaligh (sekarang populer disebut ustadz) dan Mubalighat (ustadzah) Muhammadiyah dan Aisyiyah yang ada jumlahnya “minimalis” dan kebanyakan “garis kaku”. Rasanya Perlu diperbanyak mubaligh dan mubalighat “garis lucu” dan “garis luwes” yang Njawani (kultural). Dengan pendekatan seni budaya (hadrohan, shalawatan, dll) dan budaya pangan lokal (sajian makanan buat slametan, bancakan, pengajian, kupat, dll) pengembangan ranting semakin mudah dilakukan.
Jika shalat berjamaah di dalam masjid, sebagaimana pernah dilakukan PDPM bersama PC-GP Anshor, dapat dilaksanakan dengan penuh kebersamaan dan toleransi otentik antar umat seagama. Maka kami yakin pengembangan ranting Muhammadiyah di Boja ke depan bisa dilaksanakan dengan penuh kebersamaan, toleran dan sinergi. Hal ihwal menyangkut perbedaan furukiyah, sebaiknya tidak perlu dibesarkan. Agar warga persyarikatan dapat mengamalkan poin ketiga dan keempat Risalah Islam Berkemajuan, yaitu menghadirkan tajdid dan ijtihad (tidak jumud), serta mengembangkan Islam Wasathiyah.
Data lulusan siswa siswi dari berbagai sekolah Muhammadiyah perlu ditelusuri lagi. Para guru bersama mubaligh-mubalighat perlu mendatangi lagi satu per satu alumni MI, SMP, SMA dan SMK Muhammadiyah. Selain menyambung silaturahmi, juga mangajak mereka datang ke Pengajian Ahad Pagi di Boja, Limbangan dan Singorojo. Rangkul dan libatkan mereka dalam aktivitas keshalihan sosial yang diadakan persyarikatan, antara lain : menjadi Relawan MDMC-LRB, membantu kegiatan Pengobatan Gratis, Khitanan Anak Yatim Piatu dan berbagai kegiatan sosial lain. Kalau toh belum berkenan dan siap menjadi aktivis Muhammadiyah di Ranting, minimal mereka tidak benci Muhammadiyah.
Ranting itu Penting, Cabang harus Berkembang.
Wallahu’alam
Weleri, 11 Desember 2023