Oleh: Nur Rizki Larasati
Bayangkan kita berada pada posisi rapat event besar tetapi yang datang rapat hanya lima orang, dimana setiap pendapat kita menentukan. tetapi kita memilih untuk berdiam atau pasif karena kita menganggap bahwa diam adalah sebuah solusi dari pada kita bersuara atau aktif membuat makin rancuh.
Tentu saja yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan karena itu merupakan omission bias kalau ada dua perbuatan sama jahatnya, yang satu sifat nya pasif dan yang satu sifatnya aktif, maka kita akan menggap bahwa sifatnya tidak aktif itu yang lebih baik.
Seandainya pada momentum musyawarah organisasi kalian sudah mengetahui bahwa akan ada pimpinan yang diusung tetapi catatan sebelum-sebelumnya sudah banyak lukamya, contoh pernah melakukan pelecehan seksual, dan masih memegang teguh konsep patriarki.
Tetapi banyak yang mengusung dia dan kalian sudah mengetahui catat tersebut memilih untuk diam? karena menurut kalian itu adalah hal yang sama, lebih baik begitu saja jalanya? apakah begitu?.
Jika memang begitu lantas kenapa eyang Pramoedya selalu menulis tentang perlawanan tetapi kita cucunyaa memilih zona diam dan saja, apakah memberikan kesempatan kepada pelaku sama saja mendukung dia terus-menerus melakukan hal tersebut?hayo loh
Thomas Szaz bilang begini, berpikir jernih itu lebih memerlukan keberanian dibandingkan kecerdasan. melihat keadaan yang tidak baik-baik saja tidak mungkin kita diam saja mengikuti arus ada kalahnya melawan arus seperti ikan, ya kali kita mau terus-menerus diam tetapi kita tuli dengan semua itu.
Tetapi omission bias ini tidak gampang terdeteksi karena pelaku tidak melakukan apa-apa. ada jargon bagus di barat “kalau engkau bukan bagian dari solusi, pasti bagian dari masalah” nah lo kalian bagian mana? mari diakui jangan menyangkal dan mari untuk merubahnya.
refrensi buku : ihwal sesat pikir dan cacat logika -fahruddin faiz
*) Red. Fordem.id