Naya Amin Zaini
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, menyatakan bahwa profesi Advokat dapat melakukan pembelaan hukum di ranah pengadilan (litigasi) pada Peradilan Umum (pidana dan perdata), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Agama, dan peradilan lainnya.
Selain itu Advokat dapat memberikan pembelaan dan pelayanan hukum di luar pengadilan (non litigasi). Berupa pendampingan hukum, mediasi, rekonsiliasi, dan pelayanan hukum lainnya.
Siapapun orang yang datang meminta bantuan hukum, pelayanan hukum dan pendampingan hukum, maka wajib dilayani tanpa memandang SARA (Suku, Agama, Ras, Antar Golongan) dan tidak bertentangan hati nurani. Pendampingan hukum dapat dilakukan terkait proses jual beli, ketika pihak penjual pergi ke luar kota atau pindah alamat rumah.
Proses hukum jual beli tanah memerlukan syarat dan prosedur yang harus dipenuhi oleh pihak prinsipal penjual dan pembeli. Namun apabila ada kendala, maka dapat dibantu oleh Notaris / PPAT. Sebagaimana mandat UU No. 2 Tahun 2014 juncto UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, juncto PP No. 37 Tahun 1998 tentang Jabatan PPAT.
Kejadian ini menjadi pengalaman bagi kami ketika melakukan pendampingan proses jual beli tanah terhadap klien kami, T (50 tahun). Sudah hampir 20 tahun, T kesulitan memproses Akta Jual Beli (AJB), karena pihak penjual sudah pindah alamat di Jakarta. Pihak pembeli sudah beritikad baik, maka si penjual pun sudah seharusnya beritikad baik.
Selama 20 tahun, akad jual beli hanya diikat dengan kwitansi, dan belum di Akta Jual Beli (AJB)-kan serta dibalik nama atas nama pembeli.
Ada dasar hukum berupa perlindungan hukum atas itikad baik pihak pembeli. Sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 7/2012.
Disebutkan dalam butir ke-IX SEMA tersebut, bahwa : “Perlindungan harus diberikan kepada pembeli beritikad baik sekalipun kemudian diketahui bahwa penjual adalah orang yang tidak berhak (objek jual beli tanah)“. Dalam proses hukum, maka advokat harus bisa memberikan perlindungan yang adil bagi pembeli.
Advokat dapat membuat kajian hukum atas kronologi proses jual beli tanah yang dijalani kliennya.
Mengingat pihak penjual sudah pindah alamat di Jakarta, maka yang pertama kali dicari adalah identitas, tempat kedudukan dan komunikasi agar bisa ketemu pihak penjual. Jika tidak segera diurus, kasusnya menjadi lebih rumit. Apalagi harus melewati proses turun waris ke para ahli waris pihak penjual.
Mengingat pihak pembeli telah beritikad baik dan ingin mendapatkan perlindungan hukum (legalitas balik nama), maka fungsi advokat dapat melakukan pendampingan ke pihak Notaris–PPAT yang berwenang memproses akta jual beli dan balik nama sertifikat. Selanjutnya diproses ke Badan Pertanahan Nasional.
Advokat dalam melakukan pendampingan hukum kepada pembeli tanah yang beritikat baik. Sebagaimana Pasal 531 KUH Perdata yang menyatakan : “Besit (posisi) dalam itikat baik terjadi bila pemegang besit memperoleh barang itu (tanah) dengan mendapatkan hak milik (tanah) tanpa mengetahui adanya cacat cela di dalamnya.” Sementara Pasal 532 KUH Perdata menyatakan : “Besit dalam itikat buruk terjadi bila pemegangnya mengetahui, bahwa barang yang dipegangnya bukanlah hak miliknya. Bila pemegang Besit digugat di muka Hakim dan dalam hal ini dikalahkan, maka ia dianggap beritikad buruk sejak perkara diajukan”.
Sejak awal posisi dan kedudukan pembeli tanah sudah beritikat baik. Maka secara hukum perdata dilindungi Pasal 531 dan Pasal 532 KUH Perdata.
Apabila diperlukan, Advokat dalam memberikan pendampingan hukum secara profesional ke pihak-pihak terkait, baik kepada prinsipal penjual, pembeli dan pihak Notaris–PPAT. Advokat harus mengkonfirmasi dan memastikan kehadiran para pihak untuk dimintai syarat-syarat penjualan dan pembelian dari kedua belah pihak.
Persyaratan yang dibutuhkan, misalnya Sertifikat Asli, KTP, NPWP, KK, Surat Nikah, Akta Jual Beli, PBB, dan sebagainya. Setelah itu disiapkan akta jual beli dan meminta kedua belah pihak (penjual dan pembeli) menghadap ke kantor Notaris PPAT untuk menandatangani Akta Jual Beli.
Advokat perlu memastikan secara hukum bahwa proses Pasal 94 ayat (3) huruf a terkait proses akta jual beli (AJB) terlaksana sesuai aturan hukum. Sebagaimana termaktub dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16 Tahun 2021 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Sebelum proses balik nama, Notaris-PPAT melakukan pengecekan sertifikat ke BPN (online). Guna memastikan sertifikat tidak terdapat blokir/sita/ sengketa/dijadikan agunan di Bank. Selanjutnya notaris PPAT menyiapkan Akta Jual Beli (AJB) yang harus ditandatangani pihak penjual (Suami-Istri) dengan pihak pembeli.
Notaris/PPAT membantu menghitungkan pajak penjual (PPH) dan pajak pembeli (BPHTB), serta mengurus pajak jual beli ke kantor pajak/ BKUD/iinstansi yang berwenang.
Langkah berikutnya melakukan proses verifikasi & validasi pajak, yang dilanjutkan pembayaran pajak jual beli. Selanjutnya di proses pengurusan balik nama ke BPN setempat.
Proses memastikan berikutnya, setelah dokumen dimasukkan ke kantor ATR/BPN setempat, maka pihak Notaris-PPAT dapat memonitor perkembangan atau progress-report melalui Website BPN. Setelah ada informasi dari ATR/BPN sudah jadi, maka sertifikat yang sudah di balik nama pembeli dapat diambil.
Adapun waktu penanganan dari awal sampai selesai sekitar 2 (dua) bulan, terhitung dari berkas lengkap. Proses mutasi/balik nama PBB ke pembeli dapat dilakukan setelahnya.
Advokat dapat memastikan biaya- biaya yang muncul dalam proses balik nama tersebut. Ada biaya PPAT berupa AJB, seperti diatur Pasal 32 ayat (1) PP 24/2016, uang jasa atau honorarium PPAT. Ada juga biaya BPHTB yang dikenakan berdasar nilai perolehan obyek pajak yang ditetapkan salah satunya dari nilai transaksi jual beli. Jika nilai perolehan obyek pajak tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP, maka nilai yang digunakan untuk pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan. Besaran BPHTB sama dengan NJOP dalam pengenaan PBB tahun terjadinya perolehan.
Demikian ulasan singkat, pengalaman melakukan pendampingan hukum yang bersifat non litigasi dalam proses jual beli tanah. Dimana proses jual beli tanah terjadi tidak sebagaimana mestinya, karena pihak penjual sudah pindah dan tinggal lama di Jakarta.
Semoga pengalaman kami bisa menjadi edukasi hukum bagi pihak-pihak yang terlibat dalam menjual atau membeli tanah.
Saran kami, untuk segera diproses balik nama ketika membeli tanah dan jangan ditunda-tunda. Agar potensi masalah seperti penjual meninggal dunia, proses turun waris akan menjadikan makin rumit dan panjang proses hukumnya.
Sejalan dengan program pemerintah, agar pensertifikatan tanah, legalisasi tanah, kepastian hukum pertanahan semakin tertib. Dan menjadikan hukum pertanahan di Indonesia dapat membawa kemajuan bangsa dan negara.
*) Dr. Naya Amin Zaini, S.H., M.H. : Advokat, Mediator, Dosen dan Tim Kantor Notaris-PPAT-NPAK Siti Maslakhah, S.H., M.Kn.