Cinta Ratna Tanpa Syarat (Cerpen)

Opini417 Views

Sulistyorini

Hening malam begitu terasa. Detak jarum jam masih setia memutar menemaninya saat ia bermunajat kepada Sang Khalik. Akan tetapi, malam ini sungguh rindunya membuncah. Ia sungkurkan wajahnya ke bumi, berharap langit setia mendengarnya. Ia tumpahkan segala rasa yang ada di palung jiwanya, tak tersisa. Ratna, perempuan paruh baya, seorang ibu yang hanya tinggal berdua bersama suami karena anak semata wayangnya bekerja di Kota Metropolitan.
“Ya, Rabb, lega rasanya hati hamba. Engkau mendengar segala keluh-kesah hamba,” ucap Ratna dengan lirih. Ia mulai menerawang jauh. Tanpa sadar, kaledoskop pun mulai berputar.

Lima tahun yang lalu, Galih, anak semata wayangnya, pulang kerja dengan wajah murung. “Kenapa, Nak? Ada masalah dengan kerjamu?” tanya Ratna dengan lembut. Ternyata, belaian dan kata-kata lembut ibunya meluluhkan hati Galih. “Nggak, Bu, nggak apa-apa,” jawab Galih spontan. Ia tidak sampai hati menyampaikan apa yang ia alami. Ibunya terlalu berharga mendengar apa yang terjadi. Bagi Galih, ibunya adalah segala-galanya. Kelembutan dan kasih sayang yang selalu diberikan Ratna kepada semata wayangnya telah membentuk pribadi Galih yang luar biasa. Ratna tetap merasa ada yang mengganjal di hati anaknya.

Kembali Ratna memergoki anaknya yang sedang termenung. Ia pun duduk di samping Galih. “Galih, cerita dong ke ibu! Ibu tahu ada yang sedang kamu pikirkan,” kata Ratna, “ayo, cerita ke ibu!” Galih pun mengungkapkan apa yang belakangan ini berkecamuk di pikirannya.
“Ibu, Galih pingin ke Jakarta cari kerja di sana. Tapi, Galih nggak tega meninggalkan Ibu sendirian di rumah. Bapak sudah lama nggak ada kabar,” kata Galih pelan, takut ibunya kecewa.
“O, itu yang kamu pikirkan? Kalau memang itu kemauanmu, demi hidupmu yang lebih baik, berangkat saja, ibu insya Allah akan baik-baik saja. Ada Allah yang selalu menjaga ibu. Ibu juga yakin, meski bapakmu tanpa kabar, bapak selalu berdoa untuk keselamatan kita, Nak.” Kalimat itu dengan mudah meluncur dari hati Ratna, meski ia menahan sekuat tenaga supaya tak terdengar suaranya yang bergetar hebat. Ia tahan air matanya agar tak berontak keluar. Sejenak perih hatinya kembali menganga teringat suaminya. “Ayo, Ratna, itu hanya secuil cobaan!” bisik sisi putih Ratna. Ratna pun menghela nafas panjang.

Baca Juga:  MITIGASI PELANGGARAN DALAM PINDAH MEMILIH

Ratna melepas kepergian semata wayangnya dengan senyum dan keikhlasan demi keberhasilan buah hatinya. Ia kuatkan Galih agar selalu sabar dan berlapang dada apa pun yang ia hadapi. Hidup di kota besar perlu perjuangan besar pula. “Selalu ingat Allah, ya, Cah bagus, dalam segala urusan. Jangan sedetik pun lupa Allah, apa pun yang kita alami dan rasakan, semua karena Allah, baik sedih, suka, keberhasilan, maupun kegagalan yang mungkin akan kamu hadapi nanti. Ibu selalu mencintaimu, apa pun yang terjadi.” pesan Ratna.

Waktu tak terasa, setahun sudah Galih bekerja di Jakarta. Ratna tak henti-hentinya mengucap syukur atas barakah yang senantiasa Allah limpahkan padanya dan juga semata wayangnya. Kelegaan hatinya selalu terpancar setiap mendengar kabar anaknya selalu dalam kondisi sehat dan lancar pekerjaannya.

Terdengar ketukan pintu ruang depan. Tak biasanya Subuh-subuh begini ada tamu. Sedikit ragu Ratna akan membuka pintu. Hatinya gamang. Pintu kembali diketuk. Kali ini sedikit keras. Bismillah, ia buka pintunya. Hatinya tersentak. Untung masih gelap, kacau-balau raut mukanya tak tergambar jelas. “Mas,” ucapnya separuh terdengar. Suaminya tiba-tiba muncul di saat yang tidak ia duga. Dalam keputusasaannya, tak terbayangkan olehnya, suaminya akan muncul tiba-tiba, meski doa selalu ia panjatkan untuk keselamatan suaminya yang tak pernah berkabar.
“Mbak Ratna, semalam saya bertemu Mas Roma di terminal saat saya pulang dari Surabaya. Terlihat beliau sangat lemah. Karena sudah larut, saya bawa pulang ke rumah saya. Baru sekarang saya antar ke sini. Sudah ya, Mbak, saya tinggal, semoga Mas Roma baik-baik saja.” kata Pujo, orang yang dulu menjadi teman akrab Roma, suami Ratna. Segera Pujo meninggalkan mereka berdua tanpa bercerita apa, mengapa, dan bagaimana cerita semalam. Itulah Pujo, orang baik yang selalu membantu keluarga Ratna. Ia sangat paham keluarga ini. Ratna pun mengajak suaminya masuk. Ia buatkan segelas teh hangat dengan sedikit gula untuk suaminya.

Baca Juga:  MEGAWATI, ANIES DAN PILKADA JAKARTA

Sampai detik ini, Ratna tak kuasa dan tak sampai hati untuk bertanya kepada suaminya ke mana saja selama ini. Meski sekian lama dia hanya sendirian pontang-panting mencukupi kebutuhan Galih, rasanya tak sampai hati bertanya apalagi menuntut. Saat Roma bercerita kehidupannya selama ia pergi, Ratna hanya setia mendengarkan tanpa pernah memotong pembicaraan suaminya. Ia terima dengan penuh syukur dan ikhlas suaminya kembali. Ia tak mau waktunya sekarang terbuang sia-sia hanya untuk membuka luka lama. Biarlah luka itu terkubur dalam-dalam di palung hatinya sebagai peringatan bahwa kehidupan pasti selalu banyak warna. Apalagi sekarang, beban hidupnya sudah ringan, Galih sudah hidup mapan, sudah bisa membahagiakan ibunya. Apalagi yang kurang?

Baca Juga:  Alamiah atau By-Desain

Air mata pun tak kuasa ia bendung. Kembali ia tengadahkan tangan,”Ya, Rabb, hamba bersyukur pada-Mu, selalu Engkau ringankan hati hamba. Engkau kirim hamba anak yang saleh, Engkau beri peluang surga bagi hamba dengan hadirnya kembali suami hamba.” Suara azan Subuh pun terdengar. Segera ia beranjak menuju suaminya yang masih lelap tidur. Tiga, empat detik dipandanginya dengan tajam suaminya, lalu Ratna membangunkannya. “Bangun, sudah Subuh.” Roma tersentak bangun,”Ratna, maafkan semua salahku, aku…,” kata Roma dengan penyesalan. “Sudahlah, Mas, ayo salat Subuh!” potong Ratna.

Ponsel Ratna berdering. Terlihat wajah Galih muncul di situ. Dengan binar mata 360 derajat, Ratna klik layar ponsel, “Assalamualaikum, Cah bagus, kamu mau pulang, ya? Kapan? Kereta jam berapa? Biar nanti ibu dan bapak jemput di Tawang,” sambut Ratna seolah ia yakin hari ini semata wayangnya pulang. “Waalaikumussalam, Ibu, selalu saja Ibu paham apa yang mau Galih sampaikan. Iya, Bu, jam empat sore Galih tiba di Tawang. Ibu sehat? Bapak juga kan?” jawab Galih dengan penuh kerinduan. Meski sering pulang dan selalu berkabar meski hanya via telefon, kabar pulang Galih kali ini benar-benar menjadi pengobat rindu Ratna yang tiba-tiba memuncak. “Alhamdulillah, ibu dan bapak sehat. Ya udah, semoga lancar perjalanan, ya, Le, Cah bagus, insya Allah nanti kita jemput di Tawang,” sambung Ratna dengan berbinar.

#selesai#

*)Sulistyorini, S.Pd, Guru Bahasa Indonesia SMPN 2 Salatiga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *