Wahyudi Nasution
Fordem.id – Mbokdhe Sukini, begitu ibu-ibu muda tetangga Pak Bei biasa memanggil si penjual aneka makanan itu. Pak Bei sendiri sejak dulu memanggilnya ‘Yu Sukini’. Dia teman sepermainan masa kecil Mbak Mun, kakak perempuan Pak Bei yang saat ini tinggal di Gianyar, Bali. Di usianya yang tak lagi muda, 60an tahun, Yu Sukini masih tampak sehat bugar dan lincah mengendarai sepeda motornya.
Dengan bronjong penuh muatan aneka jajanan pasar seperti jenang sungsum, jenang mutiara, nasi kucing aneka lauk, nasi kuning, nasi gudangan, nasi trancam, bermacam- macam gorengan dan aneka krupuk khas desa, dia keliling setiap pagi dari rumah ke rumah sejak pukul 06.00 hingga sekitar jam 09.00.
Seperti artis kondang, kedatangan Yu Sukini selalu ditunggu ibu-ibu, terutama yang tak sempat masak untuk sarapan anak- anaknya yang mau sekolah. Pun Bu Bei yang biasa sejak bakda shubuh sudah suntuk di ruang kerjanya menyiapkan pekerjaan untuk karyawan Bundaco sehingga tidak sempat masak. Nasi bungkus harga 2.000an dagangan Yu Sukini itu menjadi solusi bagi perut-perut darurat keroncongan di pagi hari.
“Bu Bei, besok saya libur sehari, ya. Gak jualan,” kata Yu Sukini.
“Loh kenapa, Budhe?,” tanya Bu Bei.
“Nanti malam semua orang tirakatan malam 17an, biasanya sampai larut malam. Ibu-ibu yang biasa membuat nasi bungkus ini juga sudah pamit mau libur dulu.”
“Wah gara-gara tirakatan ya, Budhe?”
“Ibu-ibu juga ingin menikmati Hari Kemerdekaan kok, Bu Bei. Merdeka, kerja libur dulu.”
“Iya sih, maklum.”
“Padahal kita ini kan belum merdeka ya, Pak Bei?,” Yu Sukini yang sok akrab itu menyapa Pak Bei yang lagi asyik membersihkan kurungan perkutut.
“Belum merdeka bagaimana to, Yu?,” tanya Pak Bei sambil memindah kurungan ke tempat yang kena sinar matahari.
“Satuhuku yang namanya merdeka itu kalau sudah murah pangan, murah sandang, dan murah semua kebutuhan hidup. Sekarang kan belum, Pak Bei. Malah semua harga kebutuhan hidup semakin hari semakin mahal,” jawab Yu Sukini yang cukup membuat Pak Bei kaget.
“Loh, tadi Yu Sukini bilang semua orang kampung nanti malam ngadakan malam tirakatan. Itu kan artinya merenungi dan mensyukuri negara yang sudah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.”
“Kalau menurut saya bukan itu artinya tirakatan itu, Pak Bei.”
“Terus apa?”
“Tirakatan itu merenungi apakah bangsa kita ini benar-benar sudah merdeka setelah proklamasi 78 tahun yang lalu.”
“Terus apalagi?”
“Tirakatan itu merenungi apakah negara kita ini sudah benar-benar merdeka dari penjajahan bangsa asing.”
“Terus apa lagi, Yu?”
“Mencermati jangan-jangan bangsa kita ini masih dijajah, Pak Bei.”
“Dijajah bangsa asing, maksudmu?”
“Ya gak mesti, Pak Bei.”
“Gak mesti bagaimana?”
“Ya mungkin saja yang menjajah kita justru bangsa kita sendiri.”
“Kok bisa begitu, Yu?”
“Walaah Pak Bei ini masa lupa dulu kita kan biasa ramai- ramai nonton kethoprak TVRI Yogyakarta di rumah Pak Yusuf.”
“Ya masih ingat, Yu. Dulu orang-orang tua sampai iuran buat beli kepang untuk alas duduk.”
“Pak Bei ingat gak, dulu sering ada lakon raja Mataram melawan Kumpeni, penjajah dari Belanda?”
“Iya, dulu anak-anak senang sekali melihat pas adegan perang tanding.”
“Raja kita jatuh dari kekuasannya karena pengkhianatan saudara sendiri atau anak-buahnya sendiri yang sudah disogok dan kingkalingkong dengan Kumpeni.”
“Wah wah…ini jualan kok malah seminar kethoprak to, Budhe?,” Bu Bei menyela.
“Hehehe….maaf Bu Bei, malah kutinggal ngobrol sama Pak Bei tentang kethoprak. Maaf…”
“Habis berapa aku ini?” Bu Bei menunjukkan belanjaannya.
“Dua puluh tiga ribu saja,” jawab Yu Sukini setelah bungkusan plastik.
Bu Bei pun langsung membayar dan masuk ke rumah meninggalkan Yu Sukini.
“Matur nuwun, Bu Bei. Saya nyuwun pamit nggih.”
“Nggih, Budhe.”
“Pamit dulu, Pak Bei. Ingat, tandanya merdeka itu bila sudah murah pangan, murah sandang, dan murah segala biaya hidup.”
“Nggih, Yu. Merdeka…!!”
“Beluuum….hehehe…” jawab Yu Sukini sambil tersenyum
Yu Sukini pun meninggalkan pelataran nDalem Pak Bei, meneruskan jualan dari rumah ke rumah hingga habis jualannya.
“Bakul panganan kok keminter, Yu Yu. Sok tahu,” kata Pak Bei dalam hati.
Malam 17-an : 16/8/2023
*) Anggota Pimpinan MPM PP Muhammadiyah, tinggal di Klaten.