Thontowi Jauhari
Rekayasa KIM (Koalisi Indonesia Maju) Plus dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) Jakarta dengan sokongan kuat dari PKS untuk mengucilkan PDIP dan Anies Baswedan ambyar dengan Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 60/PUU-XXII/2024. Salah satu amar putusan tersebut, mengubah isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada: “Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut”.
Karena jumlah penduduk Jakarta berada dalam rentang 6 juta hingga 12 juta, tepatnya sekitar 10 juta lebih sedikit, maka partai politik atau gabungan partai politik yang jumlah perolehan suaranya mencapai 7,5 % (sebelum putusan MK, 20 %) dapat mengajukan calon. Karena PDIP memperoleh 14 % suara, atau memperoleh 15 kursi, maka upaya mengucilkan PDIP itu gagal total. PDIP “hidup” kembali bisa mengajukan calon, bahkan tanpa harus berkoalisi dengan partai lain.
Kemungkinan “hidup” lagi itu juga bisa terjadi pada Anies Baswedan (selanjutnya saya sebut Anies). Ada rekayasa besar, bagaimana agar Anies itu tidak bisa maju di Pilkada Jakarta, dengan membentuk KIM Plus, dan merayu PKS, PKB dan Nasdem untuk mencabut janji partai-partai tersebut mengusung Anies. Rayuan politik itu tentu dengan janji-janji politik yang bisa menggoyahkan “iman politik” (pinjam istilah Adi Prayitno).
Fakta, rayuan itu betul-betul maut, mampu “menekuk lutut” PKS, PKB dan Nasdem. Maka terjadilah yang terjadi, “iman politiknya” bukan hanya goyah, namun runtuh berkeping-keping. Partai-partai itu mengucapkan “good bye” demi mengejar “fata morgana”, dan bergabung dalam koalisi obesitas KIM Plus (12 Partai) mengusung calon Ridwan Kamil – Suswono.
Saya sebut Anies bisa hidup lagi itu jika PDIP bersedia mengusung Anies dipasangkan dengan kader PDIP, Hendrar Prihadi atau Rano karno sebagaimana gosip yang tersebar di media sosial. Persoalannya, apakah Megawati (baca : PDIP) bersedia mengusung Anies ?
Berdasarkan analisa saya (tapi bisa salah), Megawati akan mengusung Anies. dipasangkan dengan kadernya. Yang saya amati, dalam konteks kandidasi politik elektoral, Megawati itu bukan hanya cermat dan cerdas, namun juga brilian. Dalam konteks merawat demokrasi dan konstitualisme bernegara, komitmen dan karakternya kuat. Saya tidak bisa membayangkan, saat usaha memperpanjang periode jabatan Presiden menjadi tiga periode itu disetujui Megawati, luluh lantaklah negeri ini. Akan ada amandemen UUD 1945 yang melenggangkan Jokowi menjabat menjadi tiga periode.
Pada awal-awal Era Reformasi, ketegasan Megawati untuk lebih berpihak pada publik itu amat tegas. Saya mengamati dalam penentuan calon yang diusung dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah, kentara sekali keberpihakan Megawati lebih kepada publik daripada terhadap kadernya sendiri. Pada Pilgub 2003, Ketika masih dipilih oleh DPRD, Megawati menjatuhkan dukungan politiknya terhadap pasangan Mardiyanto–Ali Mufiz yang diusung oleh Partai Kebangkitan Bangsa(PKB).
Saat Megawati belum melihat ada kadernya yang memenuhi kriteria “ideal”, ia tidak ragu untuk mengusung calon di luar kader. Padahal, jika ia mau, PDIP hasil Pemilu 1999 mempunyai 42 kursi dari 100 kursi di DPRD Jateng, kemenangannya sudah ada di depan mata, saat PDIP mau berkoalisi (menggandeng) dengan salah satu partai untuk bisa memperoleh suara 50 % plus 1.
Menjelang Pilgub 2003, di internal PDIP Jateng terjadi dinamika. Mardijo, sebagai ketua DPD PDIP Jateng berkehendak maju, namun Megawati tidak merestui. Tafsir saya ketika itu, Megawati memang tidak mau berspekulasi dengan mengusung Mardijo, yang pada akhirnya akan membawa dampak terhadap reputasi partai.
Pemilu pertama era reformasi (1999), PDIP menjadi pemenang Pemilu. Bahkan di Jateng memperoleh 42,10 persen, dengan 42 kursi. Sebuah kemenangan telak. Karena itu, wajar jika Mardijo berambisi maju sebagai gubernur. Namun, mengapa Megawati tidak menunjuk Mardijo sebagai calon gubernur yang diusung PDIP? Itulah briliannya. Megawati ingin melakukan pengkaderan terlebih dahulu, daripada memaksakan kadernya yang belum siap, kemudian justru kontraproduktif.
Pada akhirnya, ketika Mardijo nekat dengan mengusung dirinya berpasangan dengan Hisyam Ali (koalisi PDIP-PPP), Megawati memecat Mardijo sebagai Ketua DPD PDIP Jateng. Dalam Pilgub, Mardijo-Hisyam Ali hanya memperoleh 13 suara. Sementara pasangan Mardiyanto-Ali Mufiz yang diusung PKB memperoleh 62 suara.
Kejadian yang sama terjadi pada Pilgub 2008 (sudah dengan UU baru, dipilih langsung oleh rakyat). Megawati tidak mengusung kadernya sendiri sebagai calon yang diusung dalam Pilgub, namun kadernya sendiri hanya diposisikan sebagai wakil, yakni Rustriningsih. Karena itu, pada Pilgub 2008 PDIP mengusung Bibit Waluyo – Rustriningsih. Padahal, kalau saja Megawati mengusung kadernya sendiri, diperkirakan akan leading. Namun, Megawati tetap saja bertindak strategis dengan menempatkan kadernya sebagai wakil.
Pada Pilgub 2013, Megawati telah melihat kader yang mumpuni untuk diusung dalam Pilgub, Ganjar Pranowo. Sehingga, dengan penuh keyakinan, Megawati mengusungnya dalam dua periode dan terpilih, yakni Pilgub 2013 dan 2018. Saat Megawati mengusung Joko Widodo, sejak Pilkada di Solo tahun 2005 (saat itu Jokowi belum menjadi kader PDIP), di DKI (2012) hingga akhirnya dalam Pilpres 2014, semua itu tidak lepas dari brilianitas Megawati.
Prediksi saya, penentuan siapa calon yang disusung oleh PDIP dalam Pilkada Jakarta 2024, berdasarkan rekam jejak Megawati adalah bentuk konfirmasi dari brilianitas dan komitmen kebangsaannya, yakni mengusung Anies sebagai calon gubernur dipasangkan dengan kader partai berlambang kepala banteng tersebut sebagai calon wakilnya.
_Pertama_, Megawati dan Anies sama-sama menjadi pihak yang dizalimi, justru karena sikap-sikap positifnya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap kekeh Megawati untuk tidak menyetujui perpanjangan periode jabatan presiden, dari dua menjadi tiga periode, adalah “biang keladi” bagi para avonturir politik. Hal yang sama terjadi pada Anies, ia dibenci karena cita-cita politiknya, ingin mewujudkan negara kebangsaan seperti halnya yang dicita-citakan para pendiri republik. Karena itu, Megawati dan Anies adalah ancaman, mesti dikucilkan dan dibatasi pengaruhnya di depan public.
_Kedua_, dalam berbagai survey, Anies disandingkan dengan siapapun, senantisa menjadi pemenang. Hal itu akan mendorong Megawati juga bersikap realistis, akan mengusungnya. Yang anomali itu sikap PKS. Sikap pemilih PKS pada Pemilu 2024, 97 % akan memilih Anies dalam Pilkada (Survey SMRC), PKS justru mengusung Ridwan Kamil–Suswono. Saya tidak tahu, apakah para elit PKS itu membaca teori-teori partai politik atau tidak. Setidaknya, baca fungsi-fungsi partai.
_Ketiga_, dalam pengajuan calon, Megawati akan mempertimbangkan untuk menang, sekaligus untuk menunjukkan jati dirinya. Memasangkan Anies dengan kader PDIP, akan terjadi titik temu yang luar biasanya dari sisi kekuatan politiknya. Sikap pemilih PDIP pada Pemilu 2024 yang hanya sekitar 8 % akan memilih Anies (Survey SMRC), maka bertemunya Anies dan kader PDIP dalam Pilkada Jakarta, akan menjadi kekuatan dahsyat saling mengisi sehingga dapat memenangkan kontestasi.
Semoga menjadi kenyataan. Amien.
Waallahu a’lamu bisyowaab.
_Boyolali, 21 Agustus 2024_
*) Advokat, Pemerhati Politik, Kader Muhammadiyah.