Wahyudi Nasution
Fordem.id – Pak Bei sedang bersiap mau menyirami tanaman bunga dan sayuran di halaman rumah ketika tiba-tiba, Kang Narjo datang dengan senyum mengembang, mengendarai motor Supra-X dengan setumpuk koran yang masih harus diantarnya ke pelanggan. Loper koran senior itu benar-benar ‘tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas’. Di usianya yang sudah di kepala 6 hampir 7, badannya masih sehat bugar, tetap open-face dan full-smile. Mungkin itu berkat dulu waktu sekolah ikut aktif di kegiatan Pramuka, sehingga punya mental ‘tak takut panas tak takut hujan’, juga tertanam spirit lagu ‘Disini Senang Disana Senang’ yang legendaris itu.
Memang, meskipun cah ndeso dan dari keluarga pas-pasan, Kang Narjo dulu termasuk anak yang rajin sekolah dan lulus dari SMEA Negeri favorit di kota kami, satu hal yang cukup hebat bagi cah ndeso pada waktu itu. Sejak lulus SMEA tahun 1982, dia memilih pekerjaan sebagai loper koran, bukan merantau ke kota besar mencari pekerjaan.
Tiap pagi bakda shubuh, Kang Narjo naik sepeda ontel berangkat mengambil koran dan majalah di agen dekat terminal bus, lalu mengantarnya satu per satu ke rumah pelanggan. Profesi itu terus dijalaninya dengan setia hingga zaman sudah terus berkembang. Kendaraan sepeda motornya pun sudah ganti entah berapa kali. Yang paling terasa, masa keemasan media cetak sudah digantikan oleh media online. Pelanggannya semakin berkurang, tinggal sedikit. Tapi Kang Narjo tidak punya pilihan lain selain meneruskan profesi yang sudah dijalaninya selama 40 tahun itu.
“Pak Bei paham sejarah Nabi Syu’aib?,” tanya Kang Narjo setelah melempar korannya ke lantai dan mematikan mesin motornya.
Pak Bei pun tanggap gelagat sahabatnya itu, pasti ingin ngobrol sambil istirahat.
“Turun dulu, Kang. Ngopi, ya. Biar dibuatkan anakku.”
“Wah Pak Bei ini tahu yang kumau,” jawab Kang Narjo sambil turun dari motor dan ‘ngesot’ lesehan di lantai.
“Kok tumben tanya sejarah Nabi Syu’aid, ada apa, Kang?,” tanya Pak Bei sambil ikut ngesot di lantai.
Kang Narjo pun bercerita bahwa Jumat kemarin dia ikut Jumatan di Masjid An-Nur di kawasan kota. Entah siapa khotibnya, tapi materi khotbahnya cukup menarik hingga tidak ada satu jamaah pun tampak mengantuk. Karena kebetulan ini bulan Rabi’ul Awal, Khotib itu pun mengangkat tema Maulid Nabi, memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Setelah memaparkan sekilas kelahiran Rasulullah SAW dan pentingnya kita mencintai dan meneladani kehidupan Nabi pamungkas zaman, Khotib pun menyinggung beberapa tarikh Nabi dan Rasul-Rasul terdahulu
“Ada salah satu cerita yang saya masih terngiang, yaitu tarikh Nabi Syu’aib di negeri Madyan”, kata Kang Narjo.
Cahya datang menyuguhkan segelas Kopi Semendo :
“Monggo diunjuk, Pakdhe.”
“Iya, Mas. Matur nuwun, ya.”
“Apa yang menarik dari Nabi Syu’aib yang diceritakan Khotib, Kang?” tanya pak Bei.
“Nabi Syu’aib RA diutus oleh Allah SAW untuk mengingatkan kaumnya, masyarakat Madyan, agar menghentikan budaya manipulatif.”
“Budaya manipulatif bagaimana maksudnya?”
“Kebiasaan mengurangi takaran dan timbangan dalam jual-beli, Pak Bei. Itu sudah membudaya, dilakukan semua orang, bahkan sudah dianggap lumrah.
“Terus, Kang….”
“Nabi Syu’aib AS justru dimusuhi kaumnya, diintimidasi bahkan diusir dari Madyan. Padahal, negeri Madyan itu yang membangun kakek buyut Nabi Syu’aib yang bernama Madyan bin Ibrahim AS. Tapi orang-orang Madyan sudah gelap mata, tidak mau diingatkan agar berlaku jujur.”
“Terus, Kang…” tanya pak Bei setelah nyeruput kopi.
“Nabi Syu’aib pun berdoa agar Allah SWT menurunkan azab bagi kaum Madyan yang kafir. Allah SWT pun mengabulkan doa itu, lalu diturunkan- Nya azab berupa gempa bumi dan badai panas. Kaum Madyan yang kafir itu pun musnah terbakar dan terkubur di reruntuhan bumi, hanya Nabi Syu’aib dan beberapa pengikutnya saja yang selamat.”
“Wah ngeri ya, Kang.”
“Ngeri banget, Pak Bei. Lebih ngeri lagi kalau itu sampai terjadi di negeri kita saat ini.”
“Loh kok gitu, Kang?”
“Ya bisa saja to? Pak Bei pasti tahu ketidakjujuran di negeri kita juga sudah sangat parah. Korupsi dan manipulasi sudah dianggap lumrah, bahkan dilakukan secara berjamaah.”
“Contohnya, Kang?”
“Buanyak banget, Pak Bei. Sudah jamak lumrah orang korupsi, main suap, upeti dan manipulasi di semua sektor.”
“Sudah separah itukah negeri kita, Kang?”
“Perhatikan saja, Pak Bei. Orang mau naik pangkat harus nyogok atasan. Orang mencari keadilan di lembaga peradilan harus menyogok penegak hukum. Orang mau menang tender proyek harus nyogok pejabat. Orang mau jadi Kepala Desa, Wakil Rakyat, Bupati, Walikota, Gubernur, dan Presiden ya harus nyogok rakyat pemilik suara. Orang mau jadi Dirjen, Kabid, Kasi, dan Camat pun harus nyogok atasan. Pejabat belanja barang atau bikin proyek harga riilnya cuma 100 Miliar, tapi negara disuruh bayar 300 Miliar. Kuitansi bisa direkayasa, lalu marginnya dibagi- bagi para pengambil keputusan dan pembuat anggaran. Itu dianggap sudah lumrah, Pak Bei. Itu kan bentuk lain “mengurangi takaran dan timbangan” seperti dilakukan kaum Madyan. Orang tidak membayangkan bahwa azab Allah SWT yang dahsyat bisa datang kapan saja.”
“Wislah, Kang. Jadi mules perutku pagi-pagi ngobrol soal ini“, kata pak Bei.
“Ya sudah, Pak Bei. Kopiku juga sudah habis kok. Pamit dulu, ya”, kata Kang Narjo setelah menghabiskan kopi.
Kang Narjo meninggalkan Pak Bei yang masih menahan perut mules dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun. Kang Narjo tetaplah Kang Narjo yang “plengah- plengeh” (Jawa : selalu senyum menawan) mengamalkan sunnah Rasulullah SAW, di segala keadaan.
Klaten, 2 Oktober 2023
*) Ketua LP-UMKM PDM Klaten, anggota MPM PP Muhammadiyah.