HAJI MABRUR SEPANJANG HAYAT

Thontowi Jauhari

Kata yang paling banyak disebut selama prosesi haji, apalagi setelahnya, saat pulang haji, adalah kata “mabrur”. Saat bertemu saudara, teman atau siapapun, saat berkomunikasi melalui media sosial, mereka mendoakan : “Semoga menjadi haji mabrur”. Kata mabrur itu seolah menjadi inflasi penyebutan pada awal dan seiring dengan perjalanan waktu, orang atau bahkan jemaah sendiri, sudah lupa dengan kemabrurannya itu.

Menjadi haji mabrur itu, bisa dipastikan menjadi dambaan setiap jemaah. Apalagi ada hadist : “Haji mabrur itu balasannya adalah surga”. Untuk menjadi mabrur itu gampang diucapkan, tidak gampang meraihnya. Untuk memperoleh predikat mabrur dalam hajinya, butuh proses usaha, kerja keras dan perjuangan, yakni proses becoming (menjadi) sepanjang hayat.

Haji mabrur bukan hanya persoalan sah-tidaknya ibadah haji dengan memenuhi rukun, kewajiban dan sunnah. Namun bagaimana kita memaknai haji dalam kehidupan riil yang kita hadapi.

Bertakwalah dimanapun dan dalam posisi apapun engkau berada. Di keluarga, masyarakat, di jalan, di tempat kerja, di istana, di parlemen dan sebagainya. Karena itu, parameter mabrur itu tidak pada saat prosesi haji, namun justru setelahnya. Tidak hanya sesaat, namun selamanya, selama hayat masih dikandung badan.

Lantas, apa itu haji mabrur ?

Dari sisi etimologis, mabrur (isim maf’ul) berasal dari kata barro -yabarru-barron, yang berarti mentaati. Akar kata mabrur adalah birrun, yang berarti kebaikan atau kebajikan secara umum. Baik kebaikan yang berhubungan dengan Allah (vertikal) ataupun dengan makhluk lainnya (horisontal).

Untuk mengungkapakan konsep kebaikan, al-Qur’an menggunakan beberapa istilah yaitu ihsan, birr, khair, ma’ruf, husnul, hasan, thoyyib, jayyid. Esai ini tentu tidak akan mengurai perbedaan istilah kebaikan dalam Al-Quran itu.

Baca Juga:  ANTARA RASIONALITAS, EMOSIONALITAS DAN PRAGMATISME PEMILIH DALAM PILKADA

Menurut Quraish Shihab, definisi Haji Mabrur itu Menepati Janji. Shihab menjelaskan bahwa kata mabrur berasal dari kata barra-yabarru, artinya tunduk, taat, atau menaati. Dengan demikian, definisi haji mabrur diperuntukkan bagi orang-orang yang mampu menepati janji.

“Kita melaksanakan ibadah (haji) ini bagaikan berjanji kepada Allah. Itu tersurat dalam kalimat talbiyah labbaikallahumma labbaik,” jelas Quraish Sihab dalam tayangan video di kanal YouTube Narasi TV.

Sehingga, mabrur atau diterimanya ibadah haji seorang muslim bukan sekadar sah dari sisi pelaksanaannya saja. Misal, melempar jumrah (batu) yang artinya jamaah berjanji, sejak saat ini akan menjadikan setan sebagai musuhnya, baik setan yang berwujud jin atau manusia.

“Kalau Anda menepati janji, maka haji Anda mabrur. Bukan sekedar sah saat pelaksanaanya di sana. Haji mabrur ditentukan setelah kembali dari Mekkah. Dan ingat, Anda berjanji pada Tuhan, bukan pada manusia,” kata Quraish Shihab

Rasulullah pernah ditanya sahabat tentang haji mabrur :

قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ

Artinya :
“Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur? Rasulullah menjawab, memberikan makanan dan menebarkan kedamaian”.

Dalam hadits lain berbunyi :

سئل النبي ما بر الحج قال إطعام الطعام وطيب الكلام وقال صحيح الإسناد ولم يخرجاه

Artinya :
“Rasulullah saw. ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.”
Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Mendasarkan dua hadits tersebut, dapat disimpulkan, terdapat tiga ciri-ciri orang yang hajinya mabrur :

Baca Juga:  ADAKAH SIKSA KUBUR

1. Santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam)
2. Menebarkan kedamaian (ifsya’us salam)
3. Memiliki kepedulian sosial yaitu mengenyangkan perut orang lapar (ith’amut tha’am)

Kesalehan Sosial

Tentu makna haji mabrur dalam hadist diatas harus diletakkan dalam konteks yang luas. Tidak hanya dalam konteks kehidupan pribadi, namun juga dalam kehidupan bersama. Bahkan, tiga ciri-ciri tersebut seluruhnya bermakna kesalehan sosial, baik ia bersifat pribadi atau saat diamanahi posisi yang strategis, yakni sebagai pejabat publik.

Saatnya dalam memahami ritualisme haji (juga ritual lain), kita tidak hanya mendekati secara fiqh. Saya sering mengatakan, syari’ah (Islam) itu satu tapi kalau sudah wilayah fiqh akan beragam. Keberagaman fiqh ini sering menimbulkan gesekan sosial.

Kita butuh pendekatan yang bersifat hikmah (baca : filsafat). Dengan pendekatan hikmah, lebih menyatukan karena yang dibicarakan bukan sah atau tidak sah, namun nilai apa yang bisa ditransformasikan dalam kehidupan bersama. Dus, pendekatan hikmah itu lebih fokus membangun kesalehan sosial.

Selama ini, kita terlena pendekatan fiqh. Risikonya, disamping mengundang friksi juga lebih fokus membangun kesalehan pribadi. Pribadinya bagus dan ahli ibadah, namun hanya dirinya.

Masjid ada dimana-mana, antrean haji sampai 40 tahun, pejabat negaranya sudah haji semuanya, namun kita masih rakus, tamak dan suka mementingkan diri kita sendiri, mementingkan keluarga (baca : dinasti politik dalam berbagai variannya), dan mementingkan kelompok.

Ada paradoks dalam kehidupan bersama. Kekayaan alam kita itu luar biasa banyak, namun rata-rata rakyat masih miskin. Income per kapita kita, masih berputar sekitar 4000 Dolar AS, meski negara ini sudah merdeka 79 tahun. Saya sering membuat perbandingan dengan Korea Selatan.

Baca Juga:  POTENSI PELANGGARAN DALAM TAHAPAN PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA

Korea Selatan merdeka 15 hari lebih awal dari negara kita (2 Agustus 1945), namun Korea Selatan sudah melesat jauh. Rakyatnya jauh lebih sejahtera dengan income per kapita 35.000 Dolar AS. Padahal, Kekayaan alamnya tidak sebesar negeri kita.

Saya mengandaikan, tafsir ritualisme haji diterjemahkan dalam makna yang lebih praksis dalam kehidupan bersama, efek sosialnya akan luar biasa. Jika saja ritual thowaf, sa’i, wukuf di Arofah, mabit di Mudzalifah dan lempar jumroh diterjemahkan dalam kehidupan nyata, –dengan meneladani Nabi Ibrahim dan keluarganya–, nilai-nilainya dihidupkan ke dalam proses bersama bermasyarakat, bernegara dan bernegara, alangkah hebatnya negeri ini.

Kembali ke masalah haji mabrur. Untuk bisa memperoleh predikat haji mabrur itu tidak ‘taken for granted’, atau langsung ada. Itu proses yang harus dibentuk secara terus menerus. Saat melakukan manasik itu adalah starting point-nya, dan kemabruran itu akan mewujud dalam dunia nyata kita, di lingkungan kita masing-masing.

Menurut Abdul Mukti, mabrur itu artinya terbentuk atau dibentuk agar senantiasa berbuat baik, sehingga menjadi karakter. Nah, semua itu butuh waktu untuk berproses “menjadi” itu. Karena itu proses haji mabrur adalah sepanjang hayat.

Semoga kita semua tergolong haji mabrur. Kita dituntun oleh Allah SWT menjadi orang yang bertransformasi menjadi lebih baik, secara individu dan sosial, sepanjang hayat.
Apakah haji kita mabrur? hanya Allah yang “Pirso” (Maha Mengetahui)
Waallahu a’lam.

Perjalanan Madinah-Solo, 19 Juli 2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *