Wahyudi Nasution
Suana pertemuan RT 08 terasa hening. Semua peserta tampak serius memperhatikan tausiyah dari Pak Hisyam, salah satu warga RT 08 yang juga dikenal sebagai ustadz. Memang begitulah tradisi di kampung Pak Bei. Tausiyah seakan menjadi menu wajib setiap kumpul warga, menjadi acara pertama setelah Pembukaan sebelum memasuki acara utama.
Tapi malam itu terasa beda. Bila biasanya orang-orang mendengarkan tausiyah dengan santai, ada yang sambil rokokan atau main HP, malam itu semua tampak khusyuk memperhatikan dengan seksama. Pak Hisyam yang biasanya suka ndagel melontarkan joke-joke lucu pun malam itu tausiyahnya tampak serius. Lek Nardi dan Sriyono yang biasanya ‘cengengesan’ pun seolah tak berani guyonan.
“Bapak-Bapak dan Saudara sekalian,” Pak Hisyam menyapa hadirin.
“Bulan depan kita akan mengikuti Pemilu. Sebagai warga negara, kita harus menggunakan hak pilih kita, datang ke TPS, mencoblos 5 nama yang akan kita serahi mengurus negara dan daerah kita,” lanjut Pak Hisyam sambil memandangi wajah hadirin satu-persatu.
“Orang menyebut Pemilu sebagai Pesta Demokrasi. Kenapa? Karena hajatan lima tahunan ini memang melibatkan seluruh warga negara, menyangkut arah dan nasib masa depan bangsa, juga memerlukan biaya sangat besar yang dikeluarkan dari APBN maupun kelompok atau pribadi-pribadi peserta Pemilu.”
Tampak Lek Nardi gelisah ingin bicara, mau mengangkat tangannya. Sriyono ‘besti-nya’ yang melihat gelagat itu langsung nyablek paha Lek Nardi supaya diam.
“Seperti kita tahu, di Pemilu inilah orang-orang politik berkompetisi, berlomba memperebutkan simpati dan suara rakyat agar nanti kita pilih di bilik-bilik TPS. Itulah makanya gambar-gambar caleg bertaburan di mana-mana. Sayangnya, kita hanya disuguhi gambar caleg tanpa keterangan apapun dan tanpa catatan rekam jejaknya sehingga kita tidak tahu mana yang layak kita beri amanah. Hanya pasangan Capres-Cawapres yang relatif bisa kita baca dan ikuti reputasinya sehingga kita bisa memilih mana yang terbaik bagi kita,” Pak Hisyam agak panjang lebar menyampaikan prolognya.
“Tadi Lek Nardi mau ngomong apa, monggo silakan,” ternyata tadi Pak Hisyam juga melihat gelagat Lek Nardi. Semua mata memandang Lek Nardi.
“Ayo silakan ngomong,” Pak Hisyam mempersilakan Lek Nardi bicara.
“Saya mau usul saja, mbokya Pak Hisyam ini gak usah menjelaskan panjang kali lebar. Kita sudah tahu Pemilu ya gitu-gitu saja hasilnya. Hidup kita ya gini-gini saja, tetap ‘rekoso’. Kalau memang Pak Hisyam sudah punya jago, tolong sampaikan saja di sini, ditawarkan siapa yang layak kita pilih nanti. Syukur bila semua warga RT 08 setuju dengan jago Pak Hisyam. Kalau ternyata ada yang beda pilihan, ya tidak masalah…,” kata Lek Nardi dengan ekspresinya yang khas celelekan.
“Mbok didengarkan dulu to, Lek, Pak Hisyam kan baru menyampaikan pengantarnya,” kata Sriyono.
“Sabar, Lek Nardi, Ojo kesusu, to,” sahut Pak RT.
“Sudah..sudah. Gak papa, Mas Sriyono dan Pak RT. Lek Nardi memang sudah biasa begitu, kan? Dimaklumi saja,” Pak Hisyam seolah membela Lek Nardi. Dua jempol tangan pun diacungkan Lek Nardi ke Pak Hisyam.
“Bapak-Bapak semua tentu tahu saya ini bukan orang politik, bukan pengurus partai apapun, juga bukan tim sukses Capres atau Caleg siapapun. Saya ini hanya gelisah setiap kali musim Pemilu tiba.”
“Ustadz kok gelisah to, Pak. Ora ilok (tidak baik),” Lek Nardi membantah lagi.
“Sistem Pemilu kita ini kan liberal to, Lek Nardi. Seperti pasar bebas, setiap menjelang Pemilu masyarakat dijadikan rebutan oleh para pedagang dan makelar. Biasanya yang punya modal besar yang akan memenangkan persaingan, meski kualitas pas-pasan, bahkan perilaku politiknya bisa membahayakan negara.”
“Lha terus bagaimana, Pak Hisyam? Kita ini mau milih siapa,” lagi-lagi Lek Nardi mendesak.
“Lek Nardi, dalam setiap urusan kemasyarakatan, kita ini kan selalu bermusyawarah. Mau membangun masjid, madrasah, saluran air dan gorong-gorong, mau hajatan, ada kematian, mau besuk tetangga yang sakit, semua kita musyawarahkan dulu. Iya kan, Lek Nardi?”
“Ya betul, namanya hidup bermasyarakat, kok.”
“Tapi kenapa untuk urusan yang satu ini, urusan Pemilu, kita tidak pernah bermusyawarah? Semua mau milih siapa diserahkan pada selera pribadi masing-masing. Padahal kita tidak tahu kualitasnya Mestinya bisa kita musyawarahkan to, Lek Nardi?”
“Lha katanya demokrasi, Pak Hisyam? Katanya bebas dan rahasia….”
“Lek Nardi dan Bapak-Bapak yang berbahagia. Dulu sebelum hijrah Rasulullah SAW, kota Yatsrib yang kemudian berganti nama menjadi Madinah itu multy etnis, kira-kira seperti di negeri kita ini. Ada banyak suku dan agama atau kepercayaan. Ada dua suku besar, yakni suku Aus dan Khazrat, yang selalu bersaing memperebutkan dominasi dan pengaruh disana. Itu turun-temurun. Orang-orang Yahudi bermain di antara keduanya, berusaha terus mengadu domba. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan peperangan antar suku karena rebutan penguasaan lahan ekonomi dan pasar. Sampai-sampai orang-orang Yastrib merasa jenuh dan capek dengan kondisi itu.”
Semua mata mendengarkan cerita Pak Hisyam. Lek Nardi pun tampak tidak berkedip mendengarkan cerita sejarah Yastrib.
“Ketika Rasulullah SAW dan kaum Muhajirin dari Mekah datang, orang-orang Yastrib menerima dengan lapang dada dan bersuka cita. Mereka percaya bahwa Nabi Muhammad SAW yang lembut namun berwibawa itulah yang akan mampu membawa kedamaian di negeri mereka. Dan ternyata benar. Dalam tempo yang tidak terlalu lama, kehidupan di kota Yastrib berubah menjadi adem-ayem, damai, kegiatan ekonomi seperti perkebunan, peternakan, dan perdagangan semakin maju. Tidak ada lagi perang antar-suku. Kenapa bisa begitu? Karena Rasulullah SAW selalu mengajak mereka untuk bermusyawarah dalam segala hal, termasuk urusan politik dan keamanan menghadapi ancaman dari kaum Quraisy Mekah. Budaya syuraabainahum, dialog dan bermusyawarah di antara mereka, betul-betul dijalankan.”
“Sebentar, Pak Hisyam,” lagi-lagi Lek Nardi memotong tausiyah Pak Hisyam. “Itu kan jaman Kanjeng Nabi. Lha kalau jaman kita sekarang ini kan tidak semua hal bisa kita musyawarahkan? Untuk urusan pilih memilih dalam Pemilu ini apalagi, bisa-bisa kita dianggap melanggar hak azasi. Iya kan, Sedulur -sedulur?,” Lek Nardi berusaha minta dukungan hadirin.
“Iya benar, Lek Nardi,” jawab Pak Hisyam.
“Memang begitu yang terjadi selama ini. Kita sudah terjebak pada demokrasi liberal yang serba bebas. Tahu apa akibatnya? Pemilu nyatanya tidak menghasilkan pemimpin yang benar-benar punya kemampuan mengelola negara sehingga menjadi lebih baik, adil, dan makmur untuk seluruh rakyat. Korupsi terjadi dimana-mana, di semua lini. Hukum hanya dijadikan alat melanggengkan dominasi dan kekuasaan. Orang berani mengkritik pengusa akan dicarikan pasal untuk membungkamnya. Bahkan, nyawa seakan tidak ada harganya bagi lawan politik. Kemaksiatan merebak dimana- mana dan berlindung atas nama hak azasi manusia. Sungguh memprihatinkan.”
“Terus bagaimana jalan keluarnya, Pak Hisyam?”
“Jalan keluarnya? Mari kita bermusyawarah dengan pikiran jernih untuk memilih pemimpin yang terbaik. Caleg-Caleg dan Capres-Cawapres mana, mari kita bandingkan satu per satu. Bila kita sudah sepakat, mari kita amankan bersama- sama, kita ajak keluarga kita untuk memilih yang sudah kita sepakati di Pemilu nanti. Lalu kita tawakkal’alallahi, kita serahkan pada Allah SWT hasilnya. Bila pilihan kita menang, alhamdulillah kita syukuri. Bila ternyata kalah, kita terima dengan lapang dada. Bukankah takdir ada dintangan Allah Swt?”
Pak Hisyam pun mengakhiri tausiyahnya, membiarkan semua warga RT 08 berpikir dulu. Sekretaris yang memandu acara tidak membuka sesi tanya jawab karena waktu sudah semakin larut. Masih ada beberapa acara seperti laporan keuangan dari Bandahara dan musyawarah rencana kerja bakti besok hari Minggu.
Klaten, 15/01/2024
#mpmppmuhammadiyah
#jamaahtanimuhammadiyah
#lpumkmpdmklaten