BELAJARLAH KE MADURA

Wahyudi Nasution

Pak Bei, seandainya dulu Kanjeng Nabi Muhammad SAW hidupnya bukan di Arab tapi di Nusantara, di Jawa dan sekitarnya, tentu beliau ‘dhawuh’ (memerintahkan) supaya kita menuntut ilmu hingga ke Madura, uthlubul-ilma-walaufil-madura.“, kata kang Narjo tanpa beban.

“Kenapa begitu, Kang?,” tanya Pak Bei.

Orang Madura itu istimewa, Pak Bei. Mereka cerdik, cerdas, pekerja keras, bersahaja, jujur, serta menjunjung tinggi persatuan dan solidaritas diantara mereka.“, jawabnya.

Pak Bei belum paham ke mana arah obrolan Kang Narjo yang tiba- tiba turun dari motor, lalu ‘nglesot’ di lantai dan ‘nyerocos’ tentang orang Madura. Tapi Pak Bei paham kelakuan sahabatnya itu, pasti pengin ngopi sambil istirahat sejenak sebelum melanjutkan tugasnya ngantar koran ke pelanggan. Memang, beruntung sekali Pak Bei punya sahabat Kang Narjo. Loper koran senior satu ini meski tutur bahasa dan gayanya sederhana, bahkan sering terkesan ‘ndesit’ alias wong ndesa banget, tapi omongannya sering menjadi pemantik ide dan inspirasi bagi Pak Bei.

Tapi rupanya jaman Kanjeng Nabi dulu belum ada orang Madura berdagang sampai ke Arab. Yang sudah sampai ke sana waktu itu orang-orang China. Maka dhawuh beliau, uthlubul-‘ilma- walaufishiin, tuntutlah ilmu sampai ke negeri China.

“Dulu sudah ada Jalur Sutra Kang, rute perdagangan dari China hingga Romawi. Jadi orang Arab sudah biasa ketemu orang- orang China. Kalau Madura kan jauh sekali, harus perjalanan lewat laut juga.”

Baca Juga:  IDE PEMBARUAN DAN RESONANSI TRANSFORMASI SOSIAL KH AHMAD DAHLAN

Bener, Pak Bei. Wajar bila Kanjeng Nabi belum pernah ketemu orang Madura,” komentar Kang Narjo nyeruput kopinya lalu ambil sebatang kretek dan menyulutnya.

Pak Bei tentu ingat, dua pendiri organisasi Islam terbesar dan tertua di Indonesia, yakni Kyai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah dan Kyai Hasyim Asy’ari pendiri Nahdhatul Ulama, dulu masa mudanya belajar dan berguru pada Kyai Cholil di Bangkalan, Madura“, Kang Narjo melanjutkan obrolannya sambil ‘klepas-klepus’ menikmati kretek.

“Iya bener, Kang. Beberapa tahun keduanya nyantri pada Kyai Cholil hingga dinyatakan lulus,” jawab Pak Bei.

Lalu keduanya diarahkan supaya meneruskan belajar pada Kyai Saleh Darat di Semarang sebelum melanjutkan belajar ke Mekkah hingga beberapa tahun.

“Iya betul itu, Kang.”

Tapi aku bukan mau ngobrol soal belajar ngaji atau ilmu agama kedua orang hebat itu, Pak Bei.

“Terus soal apa, Kang?”

Aku cuma mau menunjukkan betapa orang Madura itu hebat-hebat, tapi tidak semua orang bisa memahaminya.

“Maksudnya?”

Pak Bei ngikuti gak fenomena warung kelontong milik orang-orang Madura yang lagi heboh?“.

“Madura-Mart?”

Iya betul. Itu salah satu contoh kecerdasan orang Madura dalam berdagang.

Baca Juga:  MASALAH ADALAH HADIAH

“Maksudnya?”, tanya pak Bei ingin mengerti argumentasi kang Narjo.

Orang Madura selalu punya cara mencari rejeki di tengah gencarnya ekspansi jaringan raksasa retail modern ke seluruh pelosok kota dan desa.

Rupanya Kang Narjo aktif mengikuti berita tentang banyaknya usaha kelontong milik rakyat yang tidak berkembang bahkan bangkrut menghadapi maraknya pertumbuhan toko-toko kelontong modern hingga ke desa-desa. Beberapa Ormas sudah mencoba melakukan perlawanan, membentuk usaha bersama atau koperasi, lalu masuk ke bisnis retail toko swalayan.

“Ya jalan, tapi perkembangannya lambat, Pak Bei. Raksasa kok dilawan. Jelas berat.”.

“Iya, Kang. Jelas berat.”

“Makanya, tuntutlah ilmu walau sampai Madura, Pak Bei,” Kang Narjo mulai membeberkan kekuatan Madura-Mart. Meski dengan modal kecil, tapi keberadaannya bisa ‘ngosak-asik’ (merusak) hegemoni raksasa retail.

Diceritakannya betapa orang Madura punya cara sendiri dalam berdagang. Mereka tidak perlu meniru cara berdagang para raksasa ekonomi dengan membuat toko swalayan dengan manajemen modern, tampilan dan branding modern, lalu menawarkan kerjasama franchise ke orang-orang yang ingin punya toko.

“Tidak, Pak Bei. Mereka cukup menyewa tempat ukuran 4×4 meter di jalan dekat perumahan. Ruang sekecil itu disekat jadi dua bagian. Yang depan untuk jualan, dan yang belakang untuk istirahat penjaga warung dan keluarganya. Hampir semua barang kelontong yang dibutuhkan masyarakat dijual disana. Penunggu toko yang juga orang Madura itu siap melayani pembeli 24 jam/hari. Dan satu hal lagi, harga di Madura-Mart juga lebih murah dari toko-toko modern karena mereka ambil margin hanya sekadarnya. Mereka bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan dan melipat-gandakan modal. Bukan, Pak Bei. Mereka bekerja untuk hidup, untuk berbagi pekerjaan dan rejeki dengan tetangga serta handai taulan sesama orang desa dari Madura.”

Baca Juga:  DARI KOKAM UNTUK INDONESIA

“Kemarin sempat ada isu jam buka toko Madura-Mart mau dibatasi ya, Kang? Katanya ada protes dadi toko swalayan.”

“Itulah, Pak Bei, betapa kalang- kabutnya raksasa ekonomi menghadapi etos kerja orang Madura.”

“Tapi untung banyak yang bela Madura Mart, ya.”

“Iya, Pak Bei. Masih banyak orang waras di negeri ini. Masih banyak orang ingin melindungi nasib rakyatnya. Tapi memang jaman sekarang rupanya banyak juga orang bodoh yang memegang kekuasaan. Kebijakannya disetir para pemilik modal besar.”

“Ya sudah, Kang, kapan-kapan kita lanjut lagi ngobrolnya. Saya mau keluar ini,” Pak Bei mempersilakan sahabatnya melanjutkan tugasnya mengantar koran ke pelanggan.

Kang Narjo segera menghidupkan motor setelah menghabiskan kopinya. Entah masih ada berapa pelanggan yang harus didatanginya setiap pagi. Jaman sudah berganti digital, tapi Kang Narjo masih setia dengan pekerjaannya.

Klaten : 04/05/2024
*) Ketua LP-UMKM PDM Klaten, Pengurus
MPM dan JATAM PP Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *