Imam Sutomo
Hari Kartini dan Hari Ibu sudah masuk benak pikiran perempuan Indonesia, tetapi simbok-simbok (Jawa : embok) di kampung yang keseharian berpakaian adat (atasan lengan panjang) barangkali belum tahu hari Kebaya Nasional. Rabu Pahing (24/7/2024) masyarakat fokus merayakan “Hari Jadi ke-1274 Kota Salatiga” di Lapangan Pancasila, meskipun sebenarnya bersamaan dengan hari Kebaya Nasional.
Nama lapangan menjadi pengingat untuk terus berusaha menanamkan rasa cinta dalam komunitas pluralis seraya merasakan wujud nyata kedamaian batin hidup di Kota Salatiga.
Jika tanggalnya baru saja diingat, maka untuk syair himne “Hari Kebaya Nasional” dapat dihafalkan lain waktu karena cukup banyak koleksi lagu himne/mars mulai dari kumpulan RT (PKK), ormas, kantor, dan organisasi profesi. Poin penting patut dicatat, hari Kebaya Nasional merupakan bagian dari apresiasi budaya bangsa dalam wujud kreasi jenis pakaian, memperkuat semangat nasionalisme, sekaligus upaya mengangkat harkat martabat keperempuanan.
Mencermati pakaian adat di Indonesia (Kristiani & Bemoe, 2016) sungguh sangat membanggakan kreativitas anak bangsa pada semua daerah menciptakan model pakaian adat secara unik untuk jenis laki-laki dan perempuan dalam bentuk yang indah, dan sebagian daerah menambah pernik-pernik aksesoris dengan bahan baku lumayan mahal.
*Kebaya* berbeda dengan *kebayan,* apalagi *Kabayan* tokoh imajiner berlatar belakang Sunda dengan wajah polos, jujur, lucu, dan menggemaskan tingkah lakunya. Pakaian kebaya banyak jenisnya : kebaya Jawa, Sunda, Bali, Jawa modern, dan kebaya model China, dll. Sejujurnya, jenis pakaian ini sudah banyak ditinggalkan untuk masyarakat perkotaan dalam keseharian, kecuali momen istimewa (perkawinan). Perempuan hidup di kampung dalam budaya agraris lebih nyaman berpakaian kebaya untuk bekerja, pergi ke pasar, di rumah, atau ngobrol dengan tetangga. Model pakaian tergolong praktis, dilihat dari depan terbuka bagian leher sampai dada, serta kancing baju yang dapat dibuka dengan mudah. Para pengamat dapat menganalisis makna tersirat model berbagai model kebaya tersebut dari aspek kepraktisannya.
Upacara sudah melekat dalam tugas anak sekolah atau orang kantoran sebagai aktivitas biasa, bukan hal istimewa. Edaran undangan peserta upacara mengenakan pakaian adat membuat bapak ibu harus mempersiapkan seragam khusus jauh-jauh hari, setidaknya sewa pakaian di butik serasa lebih hemat. Peserta lelaki tidak “ribet” banget, cukup sarung dan jas model Betawi atau aksesoris mantenan plus blangkon, kurang dari sepuluh menit sudah siap berangkat. Peserta paling sibuk justru kelompok ibu yang harus berdandan dengan pakaian khusus butuh waktu berjam-jam agar tampil luwes, menarik, dan enak dipandang mata suami.
Pakaian model kebaya punya daya magnet khusus, menambah cantik tampilan pemakainya, terkesan anggun, meningkatkan rasa percaya diri, dan aneka wewangian parfum memperkuat suasana upacara lebih hidup. Perempuan Indonesia perlu merasa bangga dengan kreativitas para desainer yang telah merancang penutup tubuh dengan sangat indah. Kemahaindahan Tuhan mencipta makhluk hebat berwujud perempuan ditindaklanjuti oleh para seniman mencipta pakaian yang anggun dan bagus dipandang. *Tidak terlalu salah jika ada yang mengatakan para suami sering merasa “pangling” dan tambah ayem batinnya saat istrinya (sendiri) berbusana kebaya.
Pakaian adat warna-warni dari berbagai suku daerah simbol kebinekaan yang terawat dalam bingkai persatuan, tidak ada kualitas tinggi-rendah, semuanya merasa nyaman dengan pilihannya. Tamu undangan dari berbagai elemen masyarakat (laki-laki dan perempuan) duduk dengan khidmat di bawah tenda merah putih dengan atribut masing-masing merasakan kehangatan persahabatan di Kota Salatiga.
Riwayat sejarah Salatiga dibacakan pembawa acara dengan suara mantap, enak didengar sebelum pembukaan, setidaknya peserta upacara mengingat-ingat usia Salatiga sangat tua di atas seribu tahun. Penjabat Wali Kota mengenakan pakaian adat Jawa menguraikan kandungan makna Salatiga. Jika diplesetkan Salatiga tidak akan pernah meraih nilai penuh (paling tinggi tujuh), Bapak Haji Yasip Khasani mempertegas “tujuh” (Jawa : pitu) bermakna positif, “pitutur” (wejangan), “pitulungan” (pertolongan) untuk meraih nilai terbaik dalam prestasi dan pelayanan kepada masyarakat. Peserta upacara di baris belakang berbisik dengan menambah kosakata “pituduh”
(petunjuk), dan “pitulasan” bulan depan.
Peringatan “Hari Jadi Kota Salatiga” melibatkan warga masyarakat dalam berbagai bentuk kegiatan, termasuk Karnaval Budaya Nusantara. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) bersama ormas lainnya berpartisipasi untuk menyukseskan agenda pemerintah kota dalam pembangunan dan menciptakan keharmonisan pergaulan. Tolok ukur kesuksesan adalah pelibatan seluruh elemen masyarakat, sekolah, dan perkantoran yang dimobilisasi untuk merayakannya sebagai simbolisasi persatuan, penghormatan, dan rasa syukur kepada Tuhan.
Setelah usai upacara “Hari Jadi Kota Salatiga” dilanjutkan dengan Rapat Paripurna Istimewa DPRD Kota Salatiga di tempat yang sama. Makin lengkap kesibukan warga Salatiga mulai dari upacara, sidang paripurna DPRD, dilanjutkan karnaval. Khusus warga kampus layak bersyukur kepada Tuhan dan terima kasih kepada DPRD yang telah memberikan “bebungah” kepada Bapak Rektor UIN Salatiga (Prof. Dr. Zakiyuddin, M.Ag.) atas capaian kinerjanya untuk mengangkat cita Salatiga sebagai kota pendidikan. Selamat untuk Bapak Rektor dan warga kampus UIN Salatiga.
Rabu Pahing, 24 Juli 2024
_*) Guru Besar UIN Salatiga. Ketua PDM Salatiga 2010-2015 dan 2015-2022._
_*Bahan Bacaan*_
Kristiani, Dian & Bemoe, Agnes (2016). _Ensiklopedia Negeriku : Pakaian Adat_. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.