Hujan yang turun deras siang ini, membuat udara terasa dingin. Bersyukur mendapati satu angkot yang terparkir seorang diri, di terminal angkot Taman Sari. Saya pun menjadi satu-satunya penumpang.
Seperti biasa sopir menyapa saya dengan ramah. Membagikan pengalaman hari ini. Dari mesin mobil yang rusak, uang perbaikan yang lumayan menguras kantong sampai penumpang yang sepi. Entah mengapa naluri saya sebagai pendengar yang baik, selalu otomatis bekerja saat ada yang menyampaikan unek-unek, apa dan siapa pun itu. Menurut saya saat orang lain bercerita tak harus diberi solusi, cukup didengarkan, dipahami dengan penuh empati, ditanggapi sewajarnya sudah membuat mereka cukup lega.
Angkot terus melaju membelah jalan, sampai perempatan Nanggulan, sopir meminta izin menjemput penumpang langganan.
” Maaf nggih, jemput penumpang dulu kasihan hujan deras. Biasanya mereka menunggu di pinggir jalan, biar saya jemput di depan pabrik.”
Saya mengangguk setuju, turut merasakan empati pak sopir untuk penumpang langganannya.Sampai depan pintu pabrik plastik, hujan turun semakin deras. Seorang ibu paruh baya sudah berdiri membawa payung dan sekarung kecil beras. Saya pikir hanya satu penumpang, ternyata masih ada lima penumpang lainnya yang kepayahan melindungi diri dan bawaan mereka. Saat melihat angkot terparkir manis di depan pintu pabrik, saya menangkap binar bahagia di mata mereka. Tak lama angkot penuh dengan semua penumpang.
Tak berapa lama angkot riuh dengan cerita yang sambung menyambung. Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Rata-rata mereka membawa bawaan yang sama, tas kerja dan karung kecil berisi beras. Dari cerita yang saya tangkap rupanya hari ini ada pedagang beras yang berjualan di pabrik. Membungkus beras dalam karung kecil dengan berat sekitar sepuluh kilogram. Naluri ibu-ibu yang saya miliki langsung bertanya, berapa harga beras tersebut. Ternyata memang selisih lima ratus rupiah per kilogram dari harga pasar. Jika lima ratus rupiah dikalikan sepuluh berarti mereka berhemat lima ribu rupiah, jumlah yang sangat berarti bagi seorang ibu. Jangankan lima ribu, selisih lima ratus rupiah pun akan dikejar jika sudah berbelanja ke pasar. Menimbang, menawar, membandingkan adalah hobi perempuan. Meski saya sering miris, mereka begitu semangat menawar saat berbelanja di pasar tradisional. Padahal selisih harga dan laba pedagang kecil yang berjualan di pasar tak seberapa. Sementara anomali mereka tunjukkan saat berbelanja di pasar modern. Tak ada tawar menawar, rela membayar berapapun meski harga barang sering tak masuk akal.
Kembali bercerita tentang beras, ada satu benang merah yang saya tarik dari obrolan penumpang siang tadi. Harga beras yang terus melambung membuat ibu-ibu nelangsa.
” Piye tho Iki, wis ganti presiden beras kok isih larang?”
” Saiki iso tuku beras wis Alhamdulillah. Penting Ning omah Ono Sego, lawuh sak-sak’e Ra masalah.”
Dari obrolan beras, berlanjut obrolan tentang pergantian presiden dan Pemilihan Kepala Daerah yang akan berlangsung sebentar lagi di Kota Salatiga. Pergantian pemimpin selalu menjadi harapan baru, tak terkecuali bagi emak-emak zaman sekarang yang sudah melek politik. Mereka berharap setelah sepuluh tahun dipimpin Pak Mulyono, ada perubahan yang cukup bisa dirasakan. Namun di sisi lain emak-emak juga sangsi, mengingat penerus kepemimpinan saat ini adalah putra mahkota Pak Mulyono alias Mas Samsul. Sudah sepantasnya Indonesia sebagai negara besar dipimpin oleh sosok yang matang dalam segala hal. Memiliki kompetensi, kepemimpinan, pendidikan, dan yang paling penting memiliki karakter kepribadian yang baik. Ketidakadilan yang dipertontonkan penguasa saat ini terlihat saat dengan mudah membukakan jalan bagi putra mahkota untuk mengikuti Pilpres, sementara jutaan rakyat usia produktif dengan kompetensi yang jauh lebih tinggi sulit mencari kerja. Entah terbentur persyaratan atau karena tidak memiliki jalur ordal. Emak-emak mengeluh sudah berjuang menyekolahkan anak sampai jenjang sarjana, dengan biaya pendidikan atau UKT yang semakin mahal. Ternyata ketika anak mereka lulus tidak sesuai harapan. Salah seorang ibu bercerita tentang anaknya yang lulus sebagai sarjana pendidikan. Berharap hidup layak dengan memilih profesi sebagai guru. Akan tetapi setelah mengetahui gaji guru honorer, mereka mengelus dada.
” Gajine anakku, ora Ono separone karo gajiku.”
Artinya gaji yang diterima guru honorer sangat rendah, jauh di bawah buruh pabrik. Bagaimana mungkin pendidikan akan maju jika kesejahteraan guru tidak diperhatikan. Layaknya emak-emak yang senang bercerita. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing. Membungkus harapan akan adanya perubahan yang dapat dirasakan setelah era kepemimpinan baru ini. Selain masalah ekonomi, emak-emak menilai Presiden Indonesia sebelumnya kurang memperhatikan hak dan kebutuhan perempuan. Terutama perempuan yang memiliki peran ganda sebagai ibu bekerja sekaligus ibu rumah tangga. Hak-hak perempuan di tempat kerja adalah hak menikmati cuti saat menstruasi. Mendapatkan fasilitas dan aturan khusus di tempat kerja saat menstruasi, hamil dan menyusui. Meskipun Indonesia pernah dipimpin oleh seorang perempuan di era Ibu Megawati Soekarno Putri. Akan tetapi mereka tidak merasakan keberpihakan terhadap perempuan. Belum ada program yang bisa dirasakan manfaatnya secara langsung. Pemikiran pragmatis emak-emak tersebut saya kira wajar, mengingat beban yang mereka tanggung sudah cukup berat untuk saat ini.
Dari pergantian pemimpin negara beralih ke pergantian pemimpin daerah. Sebentar lagi Pilkada serentak akan digelar. Salatiga salah satu kota yang akan memiliki pemimpin baru. Emak-emak sibuk menilai masing-masing Paslon dari sudut pandang masing-masing. Ada yang jago retorika, ada yang tidak dikenal sama sekali, ada juga yang menilai bukan bidangnya untuk menjadi pemimpin daerah.
Seperti halnya terhadap presiden terpilih, sebenarnya emak-emak tak memiliki ekspektasi terlalu tinggi terhadap pemimpin baru. Mereka hanya berharap harga bahan pokok terkendali, kebutuhan hidup bisa tercukupi. Anak-anak bisa sekolah setinggi-tingginya dengan biaya pendidikan yang terjangkau. Harapan sederhana namun memiliki makna yang sangat dalam. Sebagai menteri keuangan rumah tangga, memastikan situasi keuangan dan kebutuhan rumah tangga stabil adalah harapan semua perempuan bergelar ibu rumah tangga.
Semoga suara hati emak-emak sebagai bagian dari warga negara sampai ke telinga pemimpin negara dan segenap tim kabinet merah putih yang saat ini sedang digodok di Akademi Militer Gunung Tidar Magelang. Tak terkecuali kepada calon pemimpin Kota Salatiga. Sudah saatnya kepemimpinan baru membawa angin segar. Memiliki kepedulian serta empati yang tinggi kepada perempuan dan anak.
Obrolan emak-emak di dalam angkot yang saya rekam hari ini semakin memperkaya wawasan dan cara pandang saya tentang pergantian pemimpin, hak perempuan serta harapan emak-emak sebagai bagian dari warga negara. Barangkali obrolan lain di komunitas yang berbeda akan semakin memperkaya wawasan serta cara pandang saya dalam menyikapi pergantian pemimpin.
*) Dwi Prasetyanti, S.Pd Penulis adalah guru TK Aisyiyah Pembina Salatiga, guru penggerak angkatan 8 Kota Salatiga