Wahyudi Nasution
“Pak Bei pernah naik haji atau umroh?,” tanya Narjo sambil mematikan mesin motornya, lalu turun dan duduk ‘nglesot’ di lantai.
“Pernah, Kang. Alhamdulillah”, jawab pak Bei.
Pak Bei paham betul, loper koran sahabatnya itu pasti ingin ngobrol sambil istirahat dan ngopi. Maka tanpa ba-bi-bu, Pak Bei pun langsung ke dapur menyalakan kompor, dan tak lama kemudian sudah kembali ke teras menyodorkan segelas Kopi Semendo (minuman kopi dengan sedikit gula) kesukaan Narjo.
“Jadi Pak Bei pernah merasakan hidup di negara lain yang penduduknya mayoritas muslim, ya?,” tanya Narjo sambil menuangkan kopi panas ke lepek, piring tak-takan gelas.
“Iya, Kang. Tinggal di Mekah 30 hari, di Madinah 8 hari. Pernah juga ke Mesir.”
“Wah, pernah ke negerinya Raja Firaun juga?”
“Pernah, Kang. Tapi cuma 10 hari di sana.”
“Kalau ke negara yang mayoritas non-Muslim pernah belum, Pak Bei?”
“Pernah juga ke Beijing dan Sanghai.”
“China?”
“Iya, Kang.”
“Berapa hari di sana?”
“Di Beijing 4 hari, di Shanghai 3 hari. Kenapa to, Kang?”
“Pengin tanya saja. Menurut pengalaman Pak Bei, apa bedanya tinggal di negara yang penduduknya mayoritas Muslim dengan yang mayoritas non-Muslim?”
“Ya banyak, Kang?”
“Contohnya?”
“Waktu di China, saya merasa repot kalau mau sholat. Pertama, karena tidak pernah terdengar suara azan. Kedua, di kamar hotel tidak ada tanda arah kiblat.”
“Terus gak pernah sholat?”
“Ya tetap sholat, Kang. Soal waktu dan arah kiblatnya menggunakan feeling.”
“Cuma kira-kira?”
“Iya. Dengan teman sekamar saja kami berbeda arah kiblat kok. Masing-masing sesuai kemantapan hatinya.”
“Soal makan bagaimana, Pak Bei?”
“Alhamdulillah tour guide-nya paham tamunya mayoritas muslim. Jadi setiap jam makan kami selalu diantar ke restoran Muslim yang jelas Halal.”
“Ada juga, ya?”
“Ada, Kang. Coba kalau gak ada, betapa repotnya kita di sana. Gak paham peta, gak paham bahasa, gak paham tulisan. Betul- betul merasa gelap- gulita selama di sana.”
“Kalau di Arab Saudi dan Mesir bagaimana, Pak Bei?”
“Aman, Kang. Ada banyak masjid dan suara azan. Mau makan di sembarang tempat, kita juga tidak ada rasa was-was.”
“Yakin semua makanan pasti halal, ya?”
“Iya, Kang. Seperti hidup di negeri kita sendiri.”
“Lha itu lho yang ingin kutanyakan, Pak Bei.”
“Apa, Kang?”
“Pemerintah kok nganeh-anehi.” tutur kang Narjo dengan wajah tanpa dosa.
“Maksudnya?”
“Lha sudah jelas Indonesia ini mayoritas penduduknya Muslim. Konon ada 85%. Tapi kenapa bikin kebijakan semua pengusaha makanan minuman harus mengurus sertifikat halal?”
“Itu untuk menjamin bahwa semua makanan dan minuman yang beredar di pasaran halal dan baik, Kang.”
“Apakah selama ini masyarakat ragu dengan kehalalan makanan dan minuman yang dijual saudaranya sendiri?”
“Sebenarnya gak juga, Kang. Tapi kan Pemerintah harus menjamin kehalalannya.”
“Itu cacat logika namanya” terang Kang Narjo sok akademis.
“Cacat logika bagaimana?”
“Di negeri kita yang mayoritas Muslim ini, sebenarnya yang dibutuhkan justru Sertifikat Haram, Pak Bei. Bukan Sertifikat Halal.”
“Kok gitu, Kang?”
“Iyalah. Pertama, di negeri kita ini, makanan-minuman halal itu sudah menjadi darah-daging dan irama hidup masyarakat. Sudah otomatis. Orang jualan sate kambing, ayam goreng, soto ayam, mie ayam tidak akan menggunakan daging busuk atau bangkai. Mereka pasti pakai daging segar yang diyakini baik. Orang jualan makanan haram juga tahu diri, kok. Yang jualan makanan berbahan daging anjing, misalnya, mereka biasa pasang tulisan “Sate dan Rica-Rica Jamu” atau “Sate Guk-Guk” dan dikasih gambar kepala anjing. Orang jualan ciu, minuman keras, pasti juga sembunyi-sembuyi. Hanya orang tertentu yang jadi konsumen. Itulah yang kumaksud Pemerintah nganeh- anehi. Begitu juga yang jualan berbahan mengandung babi.”
“Maksud Pemerintah itu baik lho, Kang, ingin menjadikan Indonesia sebagai Pusat Halal Dunia.”
“Saya setuju, Pak Bei. Bagus itu. Indonesia menjadi Pusat Halal Dunia. Tapi karena cacat logika, jadi cara eksekusinya agak kurang objektif rasional.”
Edan tenan Narjo. Pagi-pagi sudah ngomyang, ngomong di luar kendali. Kerasukan dari mana tadi?
“Memang, Kang, sebenarnya aku juga merasa aneh dengan kebijakan Pemerintah terkait Sertifikat Halal ini. Sosialisasinya sangat minim. Padahal semua pelaku usaha makanan-minuman diwajibkan mengurus Sertifikat Halal paling lambat tanggal 17 Oktober 2024. Tinggal beberapa bulan lagi. Bila tidak, ada tiga jenis sanksi yang sudah disiapkan. Mulai sanksi teguran, sanksi administratif/denda, hingga larangan edar atau penutupan usaha.”
“Itu ngoyo-woro namanya. Kebijakan yang tidak realistis dan berlebihan.”
“Masalahnya itu sudah jadi Peraturan Pemerintah, turunan dari Undang-Undang, yang mesti dijalankan, Kang. Jadi mau tidak mau para pelaku usaha harus menyesuaikan, mengikuti. Kalau tidak, bisa kena sanksi.”
“Itu yang bahaya, Pak Bei.”
“Bahayanya dimana?”
“Lihat saja. Nanti setelah 17 Oktober 2024, akan sering ada Operasi Halal. Semua perajin makanan minuman dan warung makan, termasuk warteg, warung Angkringan, warung Lamongan, sate Madura, bahkan mbok-mbok pembuat gorengan di pinggir jalan akan disasar.”
“Peraturan memang harus ditegakkan, Kang. Hukum harus ditaati.”
“Nanti akan banyak orang mengaku Petugas melakukan operasi, mendatangi pelaku usaha makanan minuman, menanyakan Sertifikat Halal sambil menakut-nakuti, mengancam. Akhirnya, para pelaku usaha hanya dijadikan ATM oleh Petugas. Ngeri, kan?”
Jinguk tenan Narjo. Pikirannya sudah jauh ke depan dengan segudang kekhawatiran. Berawal dari cacat logika dan lemah konsep, eksekusinya akan rusak-rusakan, katanya.
Narjo-Narjo, untung kamu cuma jadi loper koran. Kalau jadi anggota Dewan, bisa-bisa jadi bintang Senayan karena sering bikin heboh persidangan. Lalu jadi langganan wawancara wartawan, bahkan sering diundang di acara ILC atau potcast Refly Harun, Abraham Samad, Kick Andy, dll. Untunglah Narjo cuma loper koran dan hidup di desa.
Klaten : 07/03/2024
#serialpakbei
#lpumkmpdmklaten
#mpmppmuhammadiyah