NDASMU, LAMBEMU DAN……..

Oleh: Gus Zuhron

Fordem.id – Selain ubur-ubur ikan lele, kata “ndasmu” sedang menjadi trending topik pembicaraan. Ada yang menganggapnya sebagai candaan atas respon terhadap sesuatu, namun ada pula yang sangat kecewa ketika kata itu muncul dalam sebuah forum besar dan diucapkan oleh kepala negara. Apalagi ucapan ini bukan pertama kali terdengar dari tokoh yang sama. Ekspresi dan ucapannya memang terkesan bercanda, tetapi konteks yang direspon adalah sesuatu yang cukup serius. Maka wajar manakala banyak pihak mengintepretasikan ucapan itu secara beragam.

Jauh sebelum kata “ndasmu” viral, kata “lambemu” sudah menjadi populer sejak awal tahun 90an. Bagi penggemar dagelan ludruk Jawa Timur pasti paham dan familier dengan kata ini. Adalah Cak Kirun, Bagyio dan Kholiq (KBK) group lawak Jawa Timuran yang biasa menggunakan kata “lambemu” dalam setiap pentas pertunjukan. Seperti telah menjadi ciri khas para pelawak, setiap kata itu diucapkan akan disambut dengan gelak tawa para penonton. Belakangan Cak Percil dan Cak Yudo generasi penerus pendahulunya juga terbiasa dengan ungkapan itu.

Baca Juga:  Guru: Pelita Harapan Masa Depan

Dalam kosa kata bahasa Jawa, baik kata “ndasmu” maupun “lambemu” adalah kata-kata kasar. Kultur Jawa mengenal ada tiga tingkatan bahasa, ngoko, kromo madyo dan kromo inggil. Ungkapan-ungkapan kasar masuk pada kategori bahasa ngoko. Jenis bahasa semacam itu dalam kondisi tertentu bisa sebagai simbol hubungan keakraban. Ngoko adalah bahasa tanpa kasta yang digunakan untuk obrolan sehari-hari. Terkadang juga dimaksudkan sebagai umpatan kekesalan ataupun ucapan latah yang sering dikeluarkan. Tidak mungkin rumpun bahasa kasar digunakan dalam forum resmi, forum ilmiah, berbicara dengan orang yang lebih tua, atau terhadap mereka yang mempunyai strata sosial tertentu.

Baca Juga:  Urgensi Menjaga Marwah Persyarikatan Jelang Pilkada

Kepala negara adalah simbol tertinggi dalam struktur kenegaraan. Melekat padanya beragam atribut kehormatan yang tidak semua orang mampu memiliki. Kekuasaan, kewibawaan, kewenangan, fasilitas, etika, moralitas, mandat penuh, adalah sekian atribut yang melekat. Siapapun yang berada dalam posisi itu ditempatkan dan dipandang sangat istimewa. Kondisi itu menjadikan masyarakat menempelkan standar moral dan etika yang berbeda. Ucapan dan tindakan yang timbul dari sosok figur sentral akan berdampak luas bagi masyarakat. Pada wilayah ini, kritikan dari banyak pihak menunjukkan reaksi kekecewaan atas laku dan kata manusia yang diekspektasikan sempurna.

Agaknya, para pejabat negara perlu hati-hati dalam berucap dan bertindak. Semua gerak-geriknya akan disorot publik. Setidaknya, jika belum mampu menyuguhkan program yang menggembirakan rakyat, suguhkan narasi yang menenangkan. Kegaduhan yang ditimbulkan masyarakat akar rumput sejatinya adalah imbas dari kebijakan negara yang masih carut marut. Kelangkaan gas, BBM naik, efisiensi anggaran yang belum jelas ujungnya, pagar laut misterius, adalah sekian contoh penampakan yang menjadikan akumulasi kemarahan itu timbul.

Baca Juga:  Dua Penyakit Berbahaya

Negara ini perlu dibangun dengan fondasi keadaban. Mimpi besar ini akan dapat terwujud manakala para penyelenggara negara mampu memberikan contoh tentang ketinggian adab dan etika. Sebab, jika kata “ndasmu” dan “lambemu” masih terus berseliweran di ruang-ruang publik, masyarakat akan sulit membedakan siapa yang sedang bicara, kepala negara atau group lawak ludruk Jawa Timuran…entahlah..

Kantor LP2SI, Rabo, 19 Februari 2025 pukul 10.39….sambil mendengarkan proses audit kepatuhan

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *