MUSIM DOLOP TIBA

Opini247 Views

Wahyudi Nasution

“Musim dolop sudah mulai lagi ya, Pak Bei,” kata Narjo sambil melemparkan lipatan koran.

Apa, Kang?

“Musim dolop sudah tiba.”

Dolop“. Sudah lama Pak Bei tidak mendengar istilah itu. Dulu waktu masih usia SD, hampir setiap hari pasaran Minggu Legi, Pak Bei dan teman-teman sebaya biasa main ke Pasar Jatinom nonton keramaian di sana. Dimulai dari los pasar burung, pindah ke pasar kambing, pindah lagi ke pasar sapi, lalu ikut “uyel-uyelan” (berdesak-desakan) nonton pedagang jamu mendemonstrasikan kehebatan jamunya.

Dari seringnya nonton atraksi bakul jamu, anak-anak pun jadi tahu bahwa sebenarnya pedagang jamu itu bukan sendirian, tapi ada tim kerja yang masing-masing anggotanya memainkan peran. Beberapa orang berperan sebagai pengunjung yang ikut berkerumun dan ikut menawar harga. Bukan mau benar-benar membeli, tapi hanya akting sekedar untuk mempengaruhi psikologi penonton. Ada yang pura-pura sakit “lempoh” (lumpuh) yang hanya dengan olesan obat dan satu sentuhan tangan pedagang, si sakit pun langsung sembuh, bisa berdiri dan berjalan. Anggota tim yang lain mencoba menawar harga, disusul anggota lainnya menawar dengan harga lebih tinggi. Mereka benar-benar kompak mempengaruhi pengunjung agar mau menawar dan membeli obat atau barang yang ditawarkan si pedagang. Itulah fungsi “Dolob“.

Baca Juga:  Muhammadiyah dalam Pemilu 2024: Mengupas Tantangan, Jihad Politik, dan Harapan Menuju Demokrasi Berkemajuan

Apa sekarang masih ada Dolop, Kang? Jamannya sudah beda, lho.”

“Semakin banyak, Pak Bei. Ada yang profesional alias bayaran, dan ada yang hanya relawan.”

Maksudnya?

“Kalau dulu di Pasar Legi Jatinom yang dijual kan obat atau jamu. Ada obat pegel linu, obat encok, obat kuat lelaki, dan sebagainya.”

Kalau sekarang?

“Sekarang yang dijual janji-janji.”

Janji-janji apa?

“Janji tidak akan impor beras, janji tidak akan nambah hutang negara, janji membuka jutaan lapangan kerja, janji dana abadi pesantren, janji akan memberi contoh hidup sederhana, janji tidak akan menaikkan tarif listrik, BBM, pajak, dan masih banyak janji lainnya yang manis-manis.”

Baca Juga:  MEWARISKAN AKUN SOSMED ITU AMAL JARIYAH

Terus…

“Tapi semuanya kan cuma mbelgedhes.”

Maksudnya?

“Ngapusi kabeh (bohong semua), omong kosong. Tapi rakyat gampang percaya, dan akhirnya ketipu lagi.”

Kenapa rakyat bisa ketipu terus ya, Kang?

“Ya karena ulah para Dolop, Pak Bei. Tiap hari rakyat dijejali informasi tentang kehebatan jamu atau jagonya, digiring agar ikut menjelekkan merk jamu yang lain. Lama-lama rakyat pun percaya. Rakyat terpedaya oleh trik para Dolop bayaran, dan akhirnya kembali tertipu, hanya menjadi obyek penderita.”

Mesakke (kasihan) ya, Kang.

“Tapi rakyat juga ‘kebangeten’ (terlalu) kok, Pak Bei. Gampang lupa, tidak _’titen’ (mengingat terus-menerus). Asal para Dolop sudah bagi-bagi amplop, rakyat pun lupa semua penderitaannya.”

Begitu ya, Kang.”

“Dan sekarang ini sudah mulai bermunculan lagi Dolop-Dolop, baik yang perorangan maupun yang terorganisir dan resmi.”

Baca Juga:  Zaman yang Absurd

Contohnya, Kang?

“Ada yang kelihatannya partai politik peserta pemilu, tapi sebenarnya cuma Dolop. Ada yang kelihatannya lembaga survey bonafid, tapi sesungguhnya cuma Dolop yang bertugas menggiring opini publik. Namanya juga orang cari makan, Pak Bei. Berbagai cara pun ditempuh.”

Wislah (sudahlah), Kang. Pagi-pagi ngomong politik, bisa hilang selera sarapan.

“Ya sudah, Pak Bei. Aku mau lanjut kerja dulu. Pamit, ya. Wassalam…”

Kang Narjo loper koran itu meneruskan tugasnya mengantar koran pagi ke rumah-rumah pelanggannya yang tinggal beberapa. Meski pembaca koran tinggal sedikit, tapi Narjo masih tetap setia dengan profesi yang sudah ditekuninya sejak 4 dasawarsa yang lalu.

Jaga kesehatan ya, Kang,” begitu pesan Pak Bei hampir setiap pagi pada sahabatnya.

30 Oktober 2023

*)Ketua LP-UMKM PDM Klaten, Anggota JATAM (Jamaah Tani Muhammadiyah) dan MPM PP Muhammadiyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *