MENYOAL HARI PENDIDIKAN NASIONAL

Gus Zuhron
Lazim setiap tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasinonal. Sebuah momen peringatan yang selama ini lebih dimaknai secara simbolik dan agak kurang bermakna secara substansi. Tokoh yang menjadi rujukan sejarah dan falsafahnya adalah Ki Hajar Dewantoro. Pendiri Lembaga Pendidikan Taman Siswa sejak 3 Juli 1922.
Peringatan 2 Mei, jika kita baca dalam sudut pandang sejarah, filosofi dan kontribusi kepada ummat dan bangsa, terdapat dua persoalan yang perlu dibicarakan.
Pertama, tepatkah penetapan 2 Mei sebagai hari keramat Pendidikan Nasional ?.  Kedua, apa argumen pemilihan Ki Hajar Dewantoro sebagai pahlawan pendidikan?
Sejarah Indonesia modern dengan cemerlang telah mencatat bahwa perintis pendidikan modern pertama kali adalah Kiyai Dahlan. Jauh sebelum Ki Hajar Dewantoro mendirikan Taman Siswa. Pendidikan Muhammadiyah telah berdiri sejak 1 Desember 1911, satu tahun lebih dulu dari lahirnya persyarikatan Muhammadiyah.
Sedangkan Taman Siswa baru berdiri 11 tahun kemudian. Secara konsep dan filosofi, lembaga pendidikan yang didirikan oleh Kiyai Dahlan lebih komprehensif. Dahlan menggabungkan antara metodologi barat, ajaran Islam dan kebijaksanaan budaya Jawa. Ini jauh lebih unggul dari konsep yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantoro.
Maka berdasarkan pembacaan diatas, semestinya Hardiknas jatuh pada tanggal 1 Desember sebagai tonggak sejarah awal lahirnya pendidikan modern, bukan 3 Juli apalagi 2 Mei. Pemilihan 2 Mei sebagai hari pendidikan hanya karena alasan tanggal kelahiran sang pendiri Taman Siswa. Kalau itu yang dijadikan dalih, maka kelahiran Kiyai Dahlan akan lebih tepat yakni 1 Agustus 1868.
Jika yang dimaksud Hardiknas adalah kelembagaan pendidikan bukan persoalan ketokohan, semestinya perlu ada koreksi mengenai peringatan hari pendidikan.
Persoalan lain yang perlu diluruskan adalah pemilihan tokoh sebagai simbol pendidikan. Fakta di lapangan jelas tidak cukup aple to aple jika membandingkan Kiyai Dahlan dengan Ki Hajar Dewantara. Kontribusi Kiyai Dahlan dengan lembaga pendidikan yang diasuhnya jelas melampaui tokoh- tokoh lain.
Saat ini Lembaga Pendidikan Muhammadiyah terus berkembang pesat. Kontribusinya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tidak perlu diragukan. Bandingkan dengan Taman Siswa yang semakin surut dan redup. Tokoh besar yang lahir dari rahim Muhammadiyah adalah fakta lain yang dapat melegitimasi bahwa Dahlan lebih tepat sebagai simbol tokoh pendidikan.
Adalah wajar jika sebagian penikmat sejarah beranggapan bahwa pemilihan Ki Hajar Dewantara sebagai pahlawan pendidikan ada nuasa politik kolonial. Ada juga yang beranggapan bahwa itu semua bagian dari upaya distorsi sejarah dan deislamisme. Semua sengaja dibentuk agar tercipta persepsi bahwa Islam tidak berkontribusi apapun pada tegaknya negeri ini.
Winston Churchill pernah mengatakan “History is Written by the Victors”, Sejarah itu ditulis oleh para pemenang. Para pemenanglah yang akan menggunakan persepsinya untuk menuliskan sejarah meskipun terkadang harus bertentangan dengan fakta. Termasuk sejarah Indonesia yang cita rasa narasinya penuh dengan pesan para pemenang.
Tugas kita hari ini adalah melakukan pembacaan ulang secara jujur, dan obyektif. Setelah itu mencoba menuliskan ulang sejarah sebagai bentuk legacy yang akan dibaca oleh generasi mendatang. Obyektivitas penulisan sejarah akan sangat membantu membentuk wajah peradaban masyarakat Indonesia ke depan. Mereka akan lebih beradab karena belajar dari sejarah masa lalu yang jauh dari kebohongan. Senoga
2 Mei 2024
*) Sekretaris MPKSDI PWM Jateng, Dosen FAI Unimma Magelang.
Baca Juga:  Menjadi Ibu Literasi di Rumah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *