Khafid Sirotudin
Judul tulisan saya ini terilhami oleh komentar Agung Yuswanto, sahabat saya di salah satu WA Group alumni PW-IPM/IRM Jateng, Kamis 2 Mei 2024. Hasil diskusi virtual dalam WAG yang sebelumnya pernah beberapa kali terjadi. Kesempatan diskusi siang hari ini dipantik postingan salah satu anggota terkait pemanasan bumi (global warming) dan ancaman kelangkaan air pada tahun-tahun yang akan datang. Hingga ajakan untuk memasang biopori pada halaman rumah dan memanen air hujan sebagai ihtiar minimalis dalam mengantisipasi kekurangan air tanah di masa mendatang.
Pemanasan Global pernah kami angkat menjadi salah satu tema Pengajian Rutin Virtual Forum Demokrasi Berkemajuan bersama Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Jawa Tengah, disaat pandemi Covid-19 melandai tahun 2022 lalu. Menghadirkan 2 pembicara, yaitu Aditya Heru, jurnalis lingkungan CNN dan Ketua Majelis Lingkungan Hidup PWM Jateng. Masalah lingkungan dan pangan menjadi satu obyek kajian bidang kebijakan publik menarik. Dimana manusia dapat hidup tentram dan nyaman selagi berada di dalam sebuah lingkungan yang memiliki dukungan ekosistem dan ekologi yang bagus. Ekosistem dan ekologi yang bagus akan mampu menghasilkan kesehatan lingkungan yang baik, serta ketersediaan pangan yang aman, cukup, berimbang, bergizi dan terjangkau untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lain di bumi.
Kerusakan lingkungan yang terjadi akibat sikap dan perilaku kurang berkeadaban dari penghuni bumi, khususnya manusia, adalah sebuah proses evolutif yang dipercepat (revolutif) menuju terjadinya kehancuran bumi (kiamat). Saya termasuk orang yang meyakini bahwa terjadinya kiamat atas bumi dan seluruh penghuninya akan berjalan sesuai sunatullah yang absolutely (mutlak), exactly (pasti) dan objective (adil, by process). Kiamat tidak terjadi secara “ujug-ujug” (Jawa : tiba-tiba), tanpa proses ‘step by step’ atau bertahap atas nasib bumi seisinya.
Kecepatan menuju kiamat sangat tergantung dengan tingkah polah, perilaku sosial-ekologis manusia sebagai khalifah di bumi. Menurut para mubaligh, ustadz, kyai, para alim cerdik pandai yang pernah saya dengarkan ceramah, pengajian dan khotbahnya, kiamat itu terbagi dua. Yaitu, kiamat sughra (kiamat kecil) dan kiamat kubra (kiamat besar).
Kiamat Sughra merupakan peristiwa kecil yang terjadi sebelum kiamat kubra. Peristiwa ini tidak menyebabkan berakhirnya dunia (bumi dan seisinya) secara keseluruhan. Namun menghasilkan bencana alam pada sebagian daerah atau wilayah bumi berupa bencana banjir, gempa bumi tektonik dan vulkanik, gunung meletus, tanah longsor, tsunami, likuifaksi tanah, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dan sebagainya. Sedangkan kiamat Kubra adalah peristiwa sangat besar yang merupakan akhir dari dunia ini.
Beberapa ayat dalam kitab suci Al-Quran telah menerangkan tentang kiamat kubra, diantaranya terdapat dalam surat Al-Hajj ayat 7, yang artinya : ”Sesungguhnya kiamat (kubra) itu pasti datang, tidak ada keraguan padanya dan sesungguhnya Allah akan membangkitkan siapapun yang di dalam kubur (alam barzah)”. Allah Swt. juga berfirman tentang kejadian kiamat pada beberapa surat, yaitu Al-Infitar, Al-Qiyamah, Az-Zalzalah, Al-Qariah, An-Naba, Al-Waqiah. Selain itu ada sejumlah ayat yang turut menjelaskan tentang hari kiamat, diantaranya Qs. Al-Haqqah ayat 15-18, Qaf ayat 44, Yunus ayat 46, Al-Kahfi ayat 47, Al-Baqarah 254 dan An-Nahl ayat 89. Belum lagi ratusan hadits shahih yang mendukung dan menjelaskan tentang kepastian akan datangnya hari kiamat.
Berbagai landasan teologis (firman Tuhan dalam kitab suci dan sunnah Rasulullah saw. yang diliterasikan ke dalam hadits shahih) telah banyak disampaikan dalam khotbah dan ceramah keagamaan, serta telah cukup banyak dihadirkan para dai, mubaligh, ustadz, habib, alim-ulama melalui berbagai konten –baik full maupun potongan– berupa postingan dalam bentuk tulisan, flyer, video pendek, voice recording, FB, IG, Tik-Tok dan laman sosmed lainnya. Saya yakin sebagian besar pengguna handphone dan Android pernah membaca, mendengar dan menyimak beragam konten tersebut walau sekilas. Masalahnya justru terjadi pada laku sosial keseharian di kalangan umat beragama. Sudahkah mampu bersikap, bertindak dan berperilaku sosial keseharian sesuai dengan kaidah teologis dan ekologis.
Kita ambil contoh ringan ajaran Islam tentang kebersihan lingkungan dan rumah. Rasulullah saw bersabda : ”Sesungguhnya Allah Swt. itu suci yang menyukai hal-hal yang suci. Dia Maha Bersih yang menyukai kebersihan. Dia Maha Mulia yang menyukai kemuliaan. Dia Maha Indah yang menyukai keindahan, karena itu bersihkanlah tempat-tempatmu” (HR. Tirmizi). Mari kita lihat dan cermati kebersihan mushola, langgar dan masjid di lingkungan kita, terutama tempat wudhu dan toiletnya. Kita bandingkan dengan toilet di mall dan restoran tempat kita makan bersama keluarga dan teman. Atau toilet umum di SPBU, rest area jalan tol dan pasar modern yang ketika kita memasukinya rela membayar “uang tip” walau sekedarnya. Sudahkah kita rela hati membiasakan diri dengan aksi nyata memasukkan “sedekah uang receh” ke dalam kotak amal jariyah di masjid dan mushola ketika hendak beribadah di dalamnya. Atau sudikah kita bergabung dengan komunitas resik-resik masjid yang marak berdiri di beberapa daerah.
Biopori dan Tanaman
Menurut KBBI, ekosistem adalah keanekaragaman suatu komunitas dan lingkungannya yang berfungsi sebagai suatu satuan ekologi dalam alam. Sedangkan ekologi sendiri merupakan ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan (kondisi) alam sekitarnya (lingkungan).
Ekologi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘oikos’ yang artinya rumah atau tempat hidup, dan ‘logos’ yang berarti ilmu. Secara harfiah, ekologi dimaknai sebagai ilmu yang mempelajari organisme dalam tempat hidupnya atau mempelajari hubungan timbal balik antara organisme dengan lingkungannya.
Menurut catatan sejarah, istilah ekologi pada mulanya diperkenalkan oleh Ernst Haeckel, pada tahun 1869. Ilmuwan Jerman yang bernama lengkap Ernst Heinrich Philipp August Haeckel, lahir tanggal 16 Februari 1834 dan meninggal tanggal 9 Agustus 1919. Seorang profesor ahli ekologi, biologi, naturologi, netha petha genealogi penemu ribuan spesies baru hewan dan tanaman, filosof sekaligus seniman. Namun jauh sebelumnya studi tentang bidang-bidang yang sekarang termasuk ke dalam ruang lingkup ekologi telah dilakukan oleh banyak pakar.
Salah satu cara kita ikut merawat lingkungan dan menjaga ketersediaan air tanah, dengan menanam berbagai pepohonan dan aneka tanaman di halaman depan rumah dan open space (ruang terbuka) di dalam dan halaman belakang rumah. Sewaktu SD, kita masih ingat pelajaran biologi dari guru tentang pentingnya menanam berbagai jenis tanaman di halaman dan teras rumah kita. Ada apotik hidup (tanaman ‘empon-empon’ yang berkhasiat obat : jahe, kencur, kunir, temulawak, serai, dll); sayuran (cabai, tomat, seledri, daun bawang, terong, dll) dan buah-buahan (mangga, sawo, blimbing, rambutan, jambu ‘kluthuk’ (biji), jambu air, dll).
Jika kita perhatikan berbagai pondok pesantren tradisional (era 80-90an) yang ada di pedesaan Jawa Tengah, kita akan melihat tanaman Sawo tumbuh di halaman ponpes. Sawo merupakan tanaman hortikultura yang berbuah sepanjang tahun. Konon, kata sawo merupakan akronim dari ”samikna wa atokna” yang memiliki arti “kami dengar dan patuh”. Sebuah adab bagi seorang santri ketika belajar mengaji kepada kyai di ponpes. Ada juga Sawo Kecik (Sawo Jawa) yang merupakan tanaman endemik Indonesia penghasil buah dari family sawo-sawoan (Sapotaceae) yang memiliki nama latin ”Manikara kauki”.
Saya pribadi telah mempraktekkan wasiat ajaran dari simbah kami agar menanam “belimbing wuluh” ( Averrhoa bilimbi L. ) di halaman, sejak pertama kali kami memiliki rumah tahun 2000. Selain untuk keperluan membuat aneka sayur dan lauk, bunga dan buah belimbing wuluh berkhasiat untuk berbagai keluhan dan keperluan pengobatan, seperti hipertensi, anti oksidan, batuk, sariawan, demam, diabetes dan mengatasi jerawat. Sebatang tanaman belimbing wuluh bisa menjadi sarana sedekah pangan kepada warga sekitar yang membutuhkan. Kita coba bayangkan dan bandingkan apabila menanam Belimbing Demak yang buahnya besar, rasanya manis dan memiliki nilai jual tinggi. Tentu kita akan “owel/eman-eman” (Jawa : kurang ikhlas) apabila ada tetangga meminta buahnya. Sebuah ajaran “sedekah ekologis” dan “teologi al-Ma’un” dari simbah, agar kami tidak termasuk ke dalam golongan kafir ekologis.
Kafir, arti dasarnya adalah tertutup atau terhalang. Secara istilah, kafir berarti terhalang dari petunjuk Allah. Lawan kata kafir adalah iman. Seorang yang beriman, tidak hanya dituntut untuk dapat melaksanakan berbagai amal saleh yang bersifat pribadi, namun juga melaksanakan amal saleh sosial bagi sesama (kesalehan sosial). Kesalehan ekologis merupakan salah satu bentuk kesalehan sosial kita. Selalu menjaga kebersihan rumah dan halaman, memisahkan sampah organik dan an-organik, membuat sumur resapan dan biopori, menanam berbagai pepohonan, bijak menggunakan air adalah sebagian kesalehan ekologis kita yang bisa dilakukan sebagai gaya hidup yang baik, saleh dan bernilai ibadah.
Tentu tidaklah memungkinkan berbagai jenis tanaman tersebut dihadirkan di halaman rumah bagi warga yang hidup di perkotaan dan memiliki lahan yang sempit. Tetapi setidaknya kita bisa menanam berbagai tanaman pangan (sayuran, empon-empon, buah-buahan) di dalam planters bag, pot-pot kaleng bekas cat tembok, ember-ember plastik yang sudah digunakan atau dengan cara hidroponik. Oksigen alami yang kita butuhkan setiap hari hanya bisa didapatkan secara gratis dari beragam tanaman dan tumbuh-tumbuhan.
Kita buat dan pasang biopori secukupnya di teras dan halaman sempit rumah kita, agar cacing tanah dan bakteri bisa hidup dan bernafas di lubang-lubang biopori mengurai sampah organik menjadi kompos. Dengan biopori, air hujan bisa masuk menjadi air tanah dan mengurangi resiko banjir di lingkungan rumah tinggal. Last but not least, dengan memasang biopori, kita terhindar dari golongan kafir ekologis, anti sosial dan abai menjaga lingkungan menjadi hijau dan lestari.
Wallahu’alam
Tegalmulyo, Malam Jumat Kliwon, 2 Mei 2024