MAZHAB “MING”

Oleh: Gus Zuhron

Fordem.id – Tulisan ini tidak untuk menawarkan sebuah pemikiran mazhab baru, atau mengkaji mazhab fikih tertentu. Artinya kata mazhab yang akan diuraikan tidak ada hubungannya sama sekali dengan pengertian dan filosofi mazhab dalam kajian fikih. Kata mazhab sengaja dipilih untuk menggambarkan individu atau sekelompok orang dalam Muhammadiyah yang sering mengambil diksi “ming” untuk memperlihatkan sikap menggampangkan, meremehkan, merasa sudah tahu, merasa tidak mementingkan sesuatu, merasa lebih hebat dan seterusnya. Sikap semacam ini bisa menjangkiti siapa saja bahkan pada level pimpinan sekalipun.

Kata “ming” yang pada awalnya dianggap sebagai ucapan latah sederhana dapat menjelma menjadi habit negatif dalam kultur bermuhammadiyah. Ming halal bi halal, ming kuliah Subuh, ming pengajian Ranting, ming sitik (sedikit) to jamaahnya, ming rapat dan ming-ming yang lain. Gejala ini ketika berubah menjadi perilaku akan semakin tidak baik. Apalagi perilaku itu dipertontonkan oleh orang yang seharusnya menjadi teladan.

Baca Juga:  SUARA IBU MENYIKAPI PERINGATAN DARURAT NEGERI

Tidak sedikit anak muda ketika disuruh tampil di dalam forum perasaannya disiksa. Bentuk penyiksaan itu ditampilkan oleh para tokoh senior yang terkadang duduk paling depan dan memilih menundukkan kepala, matanya terpejam, pura-pura tidur, hanya karena merasa gengsi kenapa yang tampil di depan tidak lebih hebat darinya.

Cerita berbeda juga dapat dijumpai saat seorang dai muda tampil untuk menyampaikan suatu materi dengan sangat serius tetapi tidak mendapatkan apresiasi proporsional. Para elit penggerak jamaah memilih ngobrol dengan jamaah lain sebagai sikap meremehkan apa yang disampaikan oleh nara sumber. Belum lagi sikap merasa sudah berilmu sehingga merasa tidak perlu mengikuti majelis kajian yang diselenggarakan Muhammadiyah. Orang semacam ini hanya ikhlas jika dirinya ditempatkan sebagai nara sumber, dan merasa enggan jika harus menjadi jamaah.

Baca Juga:  KEGENITAN POLITIK WARGA MUHAMMADIYAH

Di daerah tertentu, ada cerita yang tidak kalah menggelisahkan. Pimpinan persyarikatan pada level tertentu hobinya mendisposisi surat ketika ada kegiatan yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang, Ranting maupun Ortom. Yang bersangkutan tidak pernah berkenan hadir karena acara dianggap tidak penting.

Berbeda kalau undangan itu datang dari Kepala Daerah, Dinas tertentu, perusahaan, atau lembaga kenegaraan lainnya. Semangatnya menyala seperti pejuang 45. Seolah-olah para pihak yang mengundang itu sangat berjasa dalam membesarkan Muhammadiyah.

Ada baiknya kita belajar dari Pak Haedar Nashir. Lazim dijumpai Pak Ketum saat pengajian ramadan selalu memberi contoh dengan cara duduk paling depan dan mendengarkan dengan serius semua materi yang disampaikan para pembicara. Atau belajar dari Pak Dahlan Rais, beliau adalah pimpinan Muhammadiyah, usianya sepuh, ilmunya luas, ideologinya 24 karat, namun semangatnya begitu membara saat menjadi peserta Baitul Arqom. Padahal semua orang tahu beliau pernah menjadi Ketua Pimpinan Pusat yang membidangi perkaderan.

Baca Juga:  SELAMATKAN MASJID MUHAMMADIYAH

Allahuyarham Pak AR Fahrudin pada saat menjabat menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah tidak segan-segan menghadiri pengajian Ranting yang jumlah jamaahnya terbatas. Kyai bersahaja ini sadar betul bahwa jamaah akar rumput adalah pejuang sejati penggerak persyarikatan. Keberadaan mereka perlu disupport penuh agar Muhammadiyah semakin tumbuh berkembang. Eksistensi Muhammadiyah tidak pernah ditentukan oleh seberapa sering para Pimpinan bertemu Pejabat, tetapi seberapa baik mereka berkomunikasi dengan warganya.

Agaknya perlu gerakan penyadaran agar “mazhab ming” tidak semakin berkembang. Jumlah mereka memang tidak banyak, namun keberadaannya terkadang merusak suasana rumah indah persyarikatan. Untuk direnungkan….

Rumah Sanggrahan, 02 Mei 2025 Pukul 20.38 WIB

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *