Gus Zuhron
Ada sekitar 40 mahasiswa yang saya minta untuk melakukan survey pada tempat-tempat pengajian yang diselenggarakan oleh persyarikatan Muhammadiyah. Sebanyak 30 tempat berhasil disurvey. Masjid, sekolah, gedung pertemuan dan pesantren adalah tempat-tempat favorit bagi warga Muhammadiyah untuk menyelenggarakan pengajian. Jumlah jama’ahpun beragam, berkisar mulai dari sekitar 30 jama’ah sampai dengan 500 jama’ah.
Dari survey tersebut ditemukan tiga kesimpulan, yaitu :
Pertama, materi yang disampaikan para mubaligh Muhammadiyah ‘tidak relate‘ dengan kebutuhan anak-anak muda. Generasi milenial dan gen-z merasa tidak cocok dengan muatan materi yang disampaikan, sehingga mereka tidak cukup tertarik untuk datang di tempat tersebut. Dalam waktu yang bersamaan sulit menjumpai tempat -tempat pengajian yang mengakomodasi selera anak-anak muda. Pengajian Muhammadiyah didominasi oleh ‘kaum kolonial‘ yang merupakan representasi masa lalu.
Kedua, pengajian Muhammadiyah dinilai kaku, terlalu serius, sepi dari humor dan kesannya materinya itu-itu saja. Minim sekali kelompok ‘garis lucu‘ dan ‘garis luwes‘ di Muhammadiyah. Situasi ini barangkali dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa orang-orang Muhammadiyah itu militan dan serius dalam beragama. Mungkin juga karena berpegang pada hadits Nabi yang mengatakan “terlalu banyak tertawa bisa mematikan hati”. Tapi perlu diingat jika tidak ada tawa maka bisa ditinggalkan jama’ah.
Ketiga, kurang memanfaatkan media untuk konten pengajian. Padahal alam pikiran anak-anak hari ini sudah jelas berbeda dari kaum tempo dulu. Pemanfaatan audio visual dan media lain menjadi sangat penting. Sepertinya kesadaran akan hal itu belum cukup nyata dikalangan warga Muhammadiyah. Model pengajian masih didominasi oleh monolog. Kemasan yang satu ini biasanya menjadi menu istimewa dalam setiap pengajian. Jama’ah dibiarkan setia menjadi pendengar, duduk sambil ‘lier-lier‘ ngantuk, dan tiba-tiba pengajian telah usai.
Kalau kita kembali kepada sejarah, bukankah pendiri Muhammadiyah telah mencontohkan sesuatu yang sangat modern, berbeda dan memukau pada saat itu. Kyai Dahlan menawarkan pikiran, kemasan dan tampilan yang melampaui zamannya. Meskipun harus menanggung resiko dengan sebutan “Kyai kafir“, disesatkan dan dirobohkan Langgar (Surau)-nya.
Dalam film Sang Pencerah Kyai Dahlan diilustrasikan mengajarkan agama dengan media bermain biola. Ini jelas menunjukkan bahwa suami Siti Walidah faham betul makna perkembangan zaman.
Mestinya langkah berani itu perlu kembali diulang oleh generasi sekarang agar dakwah Muhammadiyah lebih fleksibel dan dapat diterima oleh semua pihak.
Rasanya menarik kalau sebelum tabligh akbar ada pertunjukan Barongsai, parade milad Muhammadiyah pakai pakaian adat, pengajian ranting di cafe, bakti sosial PCM pakai baju Sinterlas, dan shubuh bergembira diakhiri dengan futsal.
Jika Kyai Dahlan hidup di zaman sekarang, mungkin beliau akan sedikit protes dengan gaya kakunya kita dalam berdakwah. Beliau pasti menganjurkan para juru dakwah untuk punya channel youtube, aktif di IG, Facebook, Twitter dan Platform Media Sosial lainnya.
Semua media itu diarahkan untuk satu tujuan yakni menyebarkan Islam sesuai paham Muhammadiyah dengan sedikit sentuhan humor.
Sambil terus melayangkan protes, diam-diam Kyai Dahlan sedang belajar untuk membuat akun tik-tok dan berlatih untuk mengatakan “jangan lupa like and subscribe”…he..he… ‘ojo nesu lho‘ (jangan marah lo).
Magelang, 6 Desember 2023
*) Sekretaris MPKSDI PWM Jateng, Dosen Unimma Magelang.