Margo Hutomo
Allah Swt. berfirman :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling takwa. Sesunggguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”
(Qs.Al-Hujurat : 13)
Perbedaan merupakan sesuatu yang indah. Bagai pelangi di langit ketika hujan telah usai membasahi bumi : tempat kita lahir, menetap dan melepas nyawa. Lalu udarapun menjadi terasa sejuk, nyaman dan menawan bagi siapa saja yang ada di sekitarnya.
Perkawinan ayah dan ibu kita adalah perumpamaannya. Beliau berdua berbeda dalam segala hal, baik dari segi cipta (akal fikir), rasa (suasana hati) dan karsa (emosi). Namun keduanya dapat menjadi pasangan insan yg serasi, selaras dan seimbang. Kedua orang tua kita dapat hidup bersama dalam suka dan duka, derita dan bahagia dalam cinta dan kasih sayang hingga maut memisahkannya.
Alangkah bijaksana apabila kita berpolitik dan berdagang didasari rasa cinta dan kasih sayang yang tulus hanya karena Allah semata. Jika demikian adanya, manakala Tuhan menghendaki, pasti ujungnya akan melahirkan sebuah peradaban yang berke-Tuhan-an yang Maha Esa (bertauhid), berperikemanusiaan yang adil dan beradab (berakhlak mulia), dan bersatu atas nilai hikmah kebijaksanaan dan permusyawaratan mufakat, dengan tujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Selanjutnya, kita juga akan dapat memahami “pesan-pesan Tuhan” diatas dengan sebenarnya. Yakni sebuah pesan kemanusiaan universal yang menghapus “kasta” dalam masyarakat Arab (waktu itu).
Sekaligus sebuah penegasan bahwa yang menentukan keutamaan seorang hamba Allah bukanlah nasab, harta, tahta, status sosial-ekonomi, pekerjaan dan seterusnya. Tetapi ketakwaan seorang hamba (Makhluk) kepada Tuhan Maha Pencipta (Khaliq). Dan derajat ketakwaan hanya bisa diraih dengan amal shalih. Tidak bisa dibeli atau diraih dengan mengandalkan keutamaan nasab, suku, harta, tahta, dan seterusnya.
Sayangnya belakangan ini semakin banyak pihak yang hendak mengembalikan “kasta” masyarakat Arab yang telah dihapus Nabi Saw.
Imam Muslim dan Ibn Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, artinya : “Allah tidak memandang kepada penampilan dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian”.
Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya Al-Durr Al-Mantsur fi Tafsir bil-Ma’tsur menyebutkan dua kisah turunnya ayat ini, yakni :
Pertama, pada saat Rasulullah Saw. memasuki kota Mekkah tatkala peristiwa Fathu Makkah. Bilal bin Rabah naik ke atas Ka’bah dan menyerukan azan. Sebagian penduduk Mekkah —[yang tidak tahu Bilal biasa bertugas menyerukan azan di Madinah]— terkaget-kaget.
Ada yang berkata : “Budak hitam inikah yang azan diatas Ka‘bah?”.
Dalam riwayat lain di kitab Tafsir al-Baghawi al-Harits bin Hisyam mengejek dengan perkataan “Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?”.
Yang lain berkata : “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya”. Lantas turunlah ayat 13 Surat al-Hujurat.
Kedua, Abu Hind adalah bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam.
Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Namun mereka menolak dengan alasan: “Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?”.
Lalu turunlah QS. Al-Hujurat ayat 13 diatas.
Wallahu A’lam
Batang, 2 September 2023
*) Drs. Margo Hutomo, LC. pengasuh Majlis Muthala’ah Al-Quran (MMA) Weleri-Batang-Pekalongan.