GOMBAL

Opini264 Views

Oleh: Khafid Sirotudin

Gombal adalah kain dari bekas pakaian (baju, kaos, handuk) yang biasa digunakan untuk mengelap tumpahan air atau bahan cair lainnya. Saya yakin setiap rumah tangga pernah menggunakan kain gombal untuk berbagai keperluan keseharian. Mengelap kotoran yang menempel di kompor, membersihkan bekas oli yang menempel di knalpot sepeda motor, mengelap sisa makanan dan minuman yang tumpah di lantai, dan berbagai keperluan keseharian di rumah.

Kita bisa saja beli kain lap pel yang banyak tersedia di toko, namun rasanya “eman” jika harus mengeluarkan uang untuk suatu keperluan yang bukan kebutuhan pokok. Apalagi kita bisa memanfaatkan beragam kain dari pakaian yang usang dan sudah tidak layak untuk dipakai. Lebih praktis, ekonomis dan pro lingkungan (re-use, re-cycle).

Gombal juga bisa berasal dari kain perca yang lembut sisa industri garmen untuk memolitur aneka mebel dari kayu. Biasanya berasal dari jenis kain untuk bahan baku kaos yang tidak terpakai. Tukang politur biasa membeli gombal jenis ini di toko bahan bangunan yang menjual bahan baku vernis, sarlak dan politur. Meski sekarang lebih banyak dikerjakan dengan teknik pengecatan semprot, namun memolitur mebel, kusen-kusen, pintu dan jendela kayu dengan menggunakan kain gombal masih banyak dilakukan.

Baca Juga:  Pendampingan Hukum Jual Beli Tanah

Gombal, dalam pengertian di luar kain, bisa bermakna kata-kata yang digunakan untuk merayu, menggoda atau mencari perhatian orang lain. Biasanya digunakan untuk merayu lawan jenis (pasangan, pacar, gebetan) atau banyak digunakan hanya untuk hiburan (komedi, lawak). Yang terakhir ini diberikan untuk tujuan menghibur pemirsa.

Bagi kaum remaja yang sedang PDKT (pendekatan), kata-kata gombal bermotif agar mendapat perhatian dari gebetan. Alih-alih mendapatkan respon positif dari sasaran, tidak jarang justru respon negatif yang diterima. Selaku orang dewasa atau orang tua, seringkali kita tersenyum ketika mendapatkan curahan hati dari anak seusia remaja : “ealah, gombal banget”.

Ada juga istilah “Gombal Mukiyo” yang sudah lama dikenal di kalangan masyarakat Jawa. Yaitu semacam umpatan, namun lebih halus dan lebih bersifat sindiran. Jikalau seseorang berbicara, memberi janji dengan kata-kata manis, tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang diomongkan, maka orang itu disebut sebagai Gombal Mukiyo. Bukan Gombal Mulyono, sebab nama Mulyono bermakna orang (anak laki-laki) yang mulia.

Dalam budaya Jawa, Mukiyo dinisbatkan untuk seseorang yang suka membual, memamerkan berbagai kelebihan, membicarakan sesuatu yang tinggi tanpa bukti. Berbeda makna dengan Gombal Amoh yaitu baju bekas yang sudah tidak layak dipakai lagi. Gombal amoh bagi para Reenactor sangat bermanfaat untuk memberikan pelajaran sejarah perjuangan militer di masa lalu. Misalnya menghadirkan berbagai kostum militer TKR di masa perjuangan pra kemerdekaan ketika mengikuti pawai 17-an atau film-film perjuangan laskar tentara rakyat melawan tentara penjajah (kompeni).

Baca Juga:  Renungan Demokrasi tentang Politik Uang

Di masa menjelang Pilkada serentak tahun 2024 ini, kita menyaksikan ratusan bahkan ribuan baliho, spanduk, rontek dan media kampanye dari “seseorang bakal”-nya bakal calon Kepala Daerah berserakan di kanan-kiri jalan utama. Baik Bacagub atau BacaWagub, Bacabup/Wabup dan BacaWali/Wawali. Ada yang terpasang di tempat resmi (bayar pajak reklame) dan lebih banyak yang dipasang di lokasi yang tidak resmi (dekat kuburan, sekolah, tempat ibadah dan tempat yang dilarang oleh Penyelenggara Pemilu).

Padahal, tahapan Penetapan Resmi Pasangan Calon Kepala Daerah baru akan ditetapkan oleh KPU pada tanggal 22 September 2024 mendatang. Meskipun tahapan pemenuhan pensyaratan dukungan Pasangan Calon Perseorangan telah dilakukan pada 5 Mei sampai 19 Agustus 2024, dan Pendaftaran Pasangan Calon (dari Parpol/Gabungan Parpol) dilaksanakan pada tanggal 27-29 Agustus lalu.

Berbagai diksi kampanye bisa kita baca pada berbagai media promosi diri baliho atau spanduk, diantaranya : bocahe dewe atau bolone wong cilik, terbukti dan teruji, jujur dan amanah, religius dan nasionalis, memajukan UMKM, petani sejahtera, wani ngelakoni dan sebagainya. Sebagian besar baliho telah tersingkir karena terbukti tidak dicalonkan atau diusung oleh parpol dan gabungan parpol pada batas akhir pendaftaran 29 Agustus 2024 lalu. Tetapi lumayan foto dan namanya sudah cukup dikenal oleh masyarakat yang pernah melihatnya. Kata teman saya, Munandar : “pengin terkenal kuwi jebul ongkose larang (ingin terkenal itu ternyata biayanya mahal)”.

Sebagai rakyat kita memiliki tiga pilihan dalam menghadapi kontestasi demokrasi Pemilukada Serentak 2024. Yaitu menjadi Peserta, Penyelenggara atau Pemilih yang Berdaulat. Peserta pilkada hanya untuk mereka yang telah didaftarkan secara resmi sebagai Paslon oleh Parpol atau Gabungan Parpol. Sebagai Penyelenggara Pilkada yaitu KPU (Provinsi, Kab/Kota) dan Bawaslu (Provinsi, Kab/Kota) beserta penyelenggara ad-hock di tingkat Kecamatan, Kelurahan/ Desa dan TPS. Paling banyak diantara kita adalah sebagai pemilih yang berdaulat, yaitu rakyat yang memiliki hak pilih dan dapat menggunakan hak pilih secara merdeka, jujur, adil, langsung, rahasia dan bertanggungjawab.

Baca Juga:  MUHAMMADIYAH PASCA TAMBANG (Bagian Ketiga)

Mari gunakan hak pilih kita pada hari Rabu Pon, tanggal 27 November 2024. Dan ingat-ingat jangan terlena dengan pesan Gombal Mulyono….eh Gombal Mukiyo. Tabiik.

Tegalmulyo, 8 September 2024

*) Red. Fordem.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *