Thontowi Jauhari
“Siap Pak Haji”, demikian tanggapan teman dalam WAG ketika menanggapi postingan saya. Di WAG yang lain, ada juga beberapa yang memanggilku “Pak Haji” tersebut.
Panggilan itu, mungkin karena menghargai saya yang baru saja selesai menunaikan Rukun Islam kelima itu. Essay ini saya tulis saat perjalanan dari Makkah ke Madinah.
Insya Allah, satu Minggu kemudian, pulang ke tanah air, tepatnya 19 Juli 2024 sore atau malam sudah sampai rumah.
Rasanya bagaimana begitu, saat disemati gelar Pak Haji. Panggilan itu, sesuatu yang sebenarnya tidak saya harap. Saya sendiri sering guyon, kalau setelah menunaikan haji dipanggil haji, bagaimana dengan orang yang telah melaksanakan Rukun Islam lainnya?
Ternyata Panggilan Pak Haji terhadap orang yang telah menunaikan ibadah haji, juga terjadi di Makkah. Para Askar (Satpam) Masjidil Haram, polisi atau para penjual barang, saat menyapa kita atau menawarkan barang, mereka memanggil dengan sebutan Haji atau Hajjah.
Menurut ustadz Adi Hidayat, dalam kanal YouTube-nya, panggilan Haji/Hajjah di kota suci itu adalah untuk mengingatkan. Agar orang yang sudah berhaji itu selalu “berhaji” dalam perbuatannya.
Perkiraan saya, setibanya di tanah air, sematan gelar haji tersebut akan dilakukan oleh teman-teman. Ketika belum menunaikan ibadah haji saja, sudah ada yang memanggil saya “Pak Haji”. Mungkin karena penampilan saya yang nampak santri, meski sering berusaha tampil casual, untuk menyamarkan kesantrian saya.
Tentu, saya harus berbaik sangka terhadap orang yang memanggil dengan gelar baru tersebut. Saya yakin maksudnya baik, atau menghargai saya. Meskipun sebenarnya, kalau tidak disebut Pak haji pun, saya tetap senang saja. Saya netral.
Iya, panggilan Haji atau Hajjah itu telah menjadi budaya di Indonesia. Disamping panggilan, orang yang baru pulang haji ada juga berpenampilan ke-Arab-Arab-an. Pakaian gamis, sorban atau setidaknya makai “kethu” (peci) putih. Semua itu penanda, bahwa orang itu telah menunaikan ibadah haji.
Bahkan, ada yang ekstrem. Marah atau tersinggung jika tidak dipanggil “Pak Haji”. Sebaliknya, ada yang tidak mau dipanggil “Pak Haji”. Yang tidak mau ini, mungkin dengan alasan haji adalah seperti halnya Rukun Islam lainnya. Tidak perlu disematkan kepada orang yang telah menunaikan rukun Islam.
Bagi yang berkehendak dipanggil “Pak Haji”, tentu juga mempunyai berbagai alasan. Seolah, gelar Haji atau Hajjah bisa mengerek status sosialnya. Saya pernah mendengar, orang protes saat gelar Haji tidak disebut di depan namanya di suatu dokumen surat.
Namanya saja budaya. Ia muncul dan kemudian melembaga, dalam proses waktu yang panjang karena kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.
Kekuatan budaya itu luar biasa kuat dalam mempengaruhi perilaku individu atau masyarakat. Apapun itu, saat sudah menjadi budaya, seolah telah menjadi pedoman atau norma rujukan dalam berperilaku di tengah masyarakat.
Contoh gampangnya, korupsi itu telah menjadi budaya. Demikian pendapat yang pernah disampaikan Mohammad Hatta, saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden dan “frustasi” melihat kondisi korupsi di negeri ini (he..he..saat itu korupsi ternyata sudah meraja lela).
Tentang korupsi menjadi budaya, tentu akan menjadi tema debat panjang. Yang pasti, apalagi pada era pemerintahan Jokowi ini, pendapat Moh. Hatta itu seolah telah dikonfirmasi. KPK dilemahkan, Firli Bahuri dipilih menjadi Pimpinan KPK oleh 56 anggota Komisi II DPR dari 56 anggota yang hadir, adalah sebagian kecil contoh kuatnya budaya korupsi itu. Sehingga, seolah telah muncul adagium baru : ‘Bagi Yang Tidak Mau Korupsi, Go Away !!!. Tidak patut menjadi politisi, kalau tidak mau korup !!!’.
Kembali ke masalah gelar Haji atau Hajjah. Kebetulan tadi saya mendengarkan Ngaji Filsafat dalam kanal YouTubenya Fahruddin Faiz. Menurut Faiz, gelar Haji itu disematkan secara sengaja oleh pemerintah Hindia Belanda kepada mereka yang telah menunaikan ibadah haji.
Berdasarkan amatan Pemerintah “Penjajah” Hindia Belanda, banyak orang yang telah menunaikan ibadah haji, terpengaruh pikiran-pikiran pembaruan hingga mereka “melawan” Hindia Belanda. Para pelawan (baca : pemberontak) pemerintahan penjajah Belanda, apalagi yang berlatar belakang santri, rata-rata mereka telah menunaikan ibadah haji.
Saya punya buku, tapi lupa judul dan penulisnya (maklum, sedang tidak di rumah). Dalam buku itu diuraikan, gerakan kemerdekaan dilakukan dari tiga arah/asal : Belanda (mahasiswa yang kuliah di Belanda), dari Dalam Negeri dan dari Arab.
Perlu diketahui, nama Indonesia sebagai cita-cita entitas politik, berawal dari aktivitisme mahasiswa Indonesia di Belanda yang bergabung dalam PPI (Persatuan Pelajar Indonesia). Mulanya, Indonesia hanyalah nama wilayah geografis, bukan politis. Karena itu, ketika para pelajar Indonesia di Belanda menggaungkan Indonesia sebagai entitas politik, hal itu sangat mengerikan bagi pemerintah (Penjajah) Hindia Belanda. Saat Indonesia disebut, itu berarti upaya mengusir penjajah.
Barangkali, kengerian pemerintah Hindia Belanda mendengar sebutan Indonesia itu sama ngerinya bagi rezim Indonesia sepuluh tahun terakhir ini ketika mendengar kata KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Saat itu, KPK masih digdaya. Karena itu, untuk melenyapkan rasa ngeri, KPK harus dilemahkan atau dihancurkan. Tujuannya, untuk tidak takut korupsi. Dan kompak, seluruh kekuatan politik formal, tidak satu pun yang menolak.
Adapun gerakan kemerdekaan dari dalam negeri berupa banyaknya pejuang kemerdekaan. Sejak zaman Diponegoro hingga Soekarno. Gerakan-gerakan tersebut, dalam amatan pemerintah Hindia Belanda, banyak yang dimotori oleh orang-orang yang pulang haji.
Karenanya mulai dilakukan pengawasan terhadap orang-orang yang naik haji. Bagi mau berangkat dipersulit, melalui tes yang dilakukan oleh Bupati.
Kakek saya, H. Abdul Hamid, termasuk yang berhasil menunaikan ibadah haji dengan cara kucing-kucingan mengelabuhi petugas pemerintahan Hindia Belanda. Kata ayah saya, Muzajin, mbah Haji Abdul Hamid bisa haji dengan naik kapal laut, dengan perjalanan sekitar 6 bulan.
Mempertimbangkan fakta orang naik haji bisa berubah pikiran, pemerintah Hindia Belanda mendata atau mencatat, seluruh penduduk yang sudah naik haji. Agar pendataannya gampang, diinstruksikan kepada seluruh penduduk yang telah naik haji agar menyematkan gelar Haji di depan namanya.
Bahkan para jemaah haji itu, sepulangnya ke tanah air, agar berpenampilan beda, berpakaian khas Arab. Pakai sorban, gamis dan sebagainya.
Dengan penyematan gelar Haji dan pakaian khasnya, akan lebih mudah memetakan kekuatan mereka. Pantauan dilakukan untuk melakukan deteksi dini, kemungkinan benih-benih berontak itu mulai bersemai.
Saya berusaha browsing, tentang kebenaran pendapat Fahruddin Faiz itu. Ternyata, bukan bualan. Kajian yang dilakukan Aqib Suminto, Stenbrink dan sebagainya, membenarkan bahwa gelar Haji pada awalnya muncul karena ada instruksi dari pemerintah Hindia Belanda, untuk memetakan potensi perlawanan rakyat.
Sekarang ini, sudah turun menurun orang yang naik haji diberi gelar Haji atau Hajjah. Bahkan telah menjadi budaya dan kita tidak tahu asal usulnya, yang ternyata politis.
Meski demikian, fakta kita menikmati kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut, dan kita seneng kalau dipanggil : Pak Haji atau Bu Hajjah.
Kamu bagaimana?
Wallahu a’lam.
Perjalanan Makkah-Madinah, 11 Juli 2024