SUGENG TINDAK CALON-CALON TAMU ALLAH

Oleh: Achmad Hilal Madjdi (Wakil Ketua PDM Kudus)

Fordem.id – Beberapa hari terakhir ini kita disibukkan dengan silaturahim yang sedikit berbeda dengan yang biasa kita lakukan. Suatu anjangsana khusus kepada sanak kerabat dan sahabat yang sesaat lagi akan meninggalkan tanah air menuju kota suci Makkah Al-mukaromah dan Madinah Al-munawaroh untuk menunaikan ibadah haji.

Fadhol” yang merupakan hak prerogratif Allah yang didambakan semua ummat Islam ternyata tidak hanya bisa diperoleh mereka yang memiliki kekuatan finansial memadai. Juga tidak selalu didapatkan oleh mereka yang mengangan-angankannya. Tak jarang yang tidak berharap justru dapat panggilan dengan sekian cara sesuai kehendak Sang Pemilik kedua tanah suci tersebut. Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa tiada terhingga.

Panggilan beribadah yang sangat spesifik ini kemudian disikapi, dipersepsi dan dipersiapkan secara khusus bukan semata- mata karena ibadah ini memang luar biasa khusus dengan tiada balasan lain selain surga. Sebab balasan yang begitu mewah ini salah satunya diperoleh dengan mengerahkan berbagai potensi diri meskipun tetap dalam bingkai berserah diri kepada sang Khaliq.

Pertama, ‘potensi fisik yang prima’ agar bisa menjalankan ritual haji yang wajib, rukun dan sunnah selama berada di tanah suci. Kekuatan dan ketahanan fisik memang mutlak diperlukan karena memang “template” ibadah haji memberdayakan fisik. Mulai dari tawaf, sa’i, wukuf dan bahkan mabit di Muzdalifah dan Mina. Apalagi ketika melempar jumroh dengan tingkat kepadatan jamaah yang begitu tinggi.

Kedua adalah ‘potensi hati atau jiwa yang harus selalu ihlas dan sabar’ dalam menghadapi situasi apapun dan dari siapapun selama ibadah haji. Kelapangan jiwa atau hati ini bahkan sering disampaikan kepada para tamu Allah sebagai hal yang sangat fundamental untuk meraih kemabruran haji. Potensi yang ke dua ini sering disebut lebih sulit daripada potensi pertama.

Baca Juga:  VIRALKAN NARASI KRITIS ILMIAH KADER DAN DAKWAH AMALIYAH BERKEMAJUAN

Sensitifitas kejiwaan biasanya akan mulai terasa setelah jamaah beberapa hari berada di tanah suci. Dimana suhu, makanan dan kebiasaan keseharian lainnya tentu berbeda dengan asal daerah/negara asal.

Perbedaan semakin bertambah dikala jamaah mulai berbaur dengan jamaah dari daerah/negara lain. Meskipun tidak jarang pembauran itu juga menghasilkan hal- hal positif dan berlanjut sampai paska ibadah haji.

Ketiga adalah potensi taqwa dan tawakkal kepada Allah dengan semangat “inna akromakum inda-Allahi atqokum”.
Semangat tidak merasa paling baik, paling benar, paling khusus, paling ikhlas, paling saleh, paling mulia atau bahkan paling taqwa.

Kesadaran bahwa tidak ada manusia mulia selain yang bertaqwa kepada Allah sebenarnya merupakan “silent faith” suatu keimanan yang bergerak diam di dalam jiwa. Sehingga jiwa itu sendiri tidak tahu siapakah diantara dirinya dan orang lain yang paling mulia.

Sebuah kesadaran yang muncul di permukaan dalam gerakan keimanan yang nyata (“working faith”) adalah bahwa dirinya orang yang paling rendah, paling buruk dan penuh dosa dibandingkan jamaah lainnya. Dari situasi dan posisi itulah seseorang yang sedang beribadah haji bisa menggunakan bekal andalan dan terbaiknya, yaitu taqwa.

Bersyukur dan Berbahagia

Pengembangan ketiga potensi di atas akan berjalan dengan maksimal jika diawali dengan meningkatkan rasa syukur kepada Sang Pemberi Undangan. Ajakan bersyukur ini bukan sekedar basa basi atau retorika sebagaimana setiap awal khutbah atau pidato yang tidak pernah melupakan kata syukur ini. Dalam adab kehidupan, bersyukur merupakan aras tertinggi martabat manusia menerima berbagai kenikmatan yang diterimanya.

Baca Juga:  METAMORFOSA DARI SANTUNAN KE INTENSITAS PEMBERDAYAAN

Martabat tinggi ini ditandai dengan kemampuan untuk menerima dan menyadari hadirnya Sang Pemberi yang selalu memberi tanpa pernah mempertimbangkan apakah pemberiannya itu telah diminta sebelumnya atau tidak.

Pemberi yang juga tidak pernah menuntut untuk diberi ulang atau diberi balasan, bahkan hanya akan mencatat dan melakukan tindakan lanjutan atas pemberian- Nya.

Jika yang diberi bisa menunjukkan kemanfaatan yang positif untuk diri dan sesamanya, maka Sang Pemberi akan menambah nikmat pemberian. Namun jika yang diberi abai atau tidak merasa ada kemanfaatan, Sang Pemberi tidak segan- segan melakukan respon ulang negatif yang akan terasa sangat menyakitkan. Dengan kata lain, pemberian untuk diri seseorag sesungguhnya adalah pemberian untuk semua makhluk di sekitar orang yang diberi.

Itulah sebabnya ada kewajiban zakat sesuai hukum dan peraturan yang ada, serta infaq dan sedekah yang nilai balasannya luar biasa besar. “Berhaji juga bermakna berbagi” dalam konteks mengembangkan kemanfaatan positif atas pemberian Sang Pemberi.

Dalam kaitan dengan ibadah haji, semua bekal material yang dibawa sesungguhnya tidak menjadi dominan penting. Apalagi dilihat dalam konteks zakat, infaq dan sedekah yang dibahas di atas. Bekal material itu bahkan gugur dengan semangat “sebaik-baik bekal adalah taqwa”, yang selalu dilantunkan dalam pembacaan Kalam Illahi di setiap pembekalan dan atau pemberangkatan calon haji.

“Watawazzaduu fainna khoirozzadittaqwa”, adalah seruan untuk orang-orang yang “ulil albab”. Seruan yang sangat tegas, jelas namun tetap santun dan tidak memaksa.

Oleh karena itu, tidak ada yang perlu dirisaukan dan dikhawatirkan. Sebab bekal yang dibawa bagaikan dunia dan langit seisinya, yang juga bermakna keluarga dan kerabat. Sahabat yang ditinggal juga berada dalam rengkuhan atau cakupan bekal taqwa tadi. Artinya bekal itu sudah sangat jelas mencukupi segalanya. Maka tidak ada alasan apapun untuk bersedih hati, apalagi selalu bermuram durja selama di tanah suci, sehingga memunculkan asumsi dan interpretasi yang kurang nyaman diantara sesama jamaah.

Baca Juga:  MAKNA SABAR

Jadi berbahagialah, baik sebelum berangkat, selama perjalanan serta selama berada di tanah suci selagi bekal taqwa yang dikantongi dikemas dalam bingkai seperti yang dibahas di atas.

Semoga Memperoleh Haji Mabur

Ketika semua yang ada pada diri calon jamaah haji, baik sewaktu masih di rumah menerima tamu dalam kesadaran penghambaan dalam perbekalan yang paling bermartabat (taqwa), maka sesungguhnya perjalanan ibadah haji yang akan dijalani sudah dalam skema yang benar. Skema perjalanan haji yang benar diawali dengan pembekalan diri, dimana sebaik-baik bekal adalah taqwa. Apalagi jika ditambah dengan doa-doa para tamu dengan lantunan “Semoga Allah membekalimu dengan taqwa, mengampuni dosa dan memudahkanmu dalam jalan kebaikan di manapun kau berada”. Maka jika doa dikabulkan dipastikan semuanya berjalan sesuai harapan.

Karena itu tidak ada alasan lain untuk tidak melantunkan doa lagi yang lebih mendekatkan diri kepada bekal yang paling bermartabat, dengan lantunan doa : “aku menitipkan agamamu, amalanmu dan akhir amal perbuatanmu kepada Allah”. Apabila sudah seperti ini dan sampai pada batas ini, maka tidak ada alasan untuk tidak optimis dengan ibadah haji yang akan dijalani. Insya Allah mabrur.

Semangatnya adalah semangat perubahan atau perbaikan. Yang dipahami secara tekstual harus ada perubahan kebaikan atau perbaikan personalitas antara sebelum dan sesudah berhaji kelak. Sekali lagi semoga meraih haji mabrur.

14 Mei 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *