Oleh: Gus Zuhron
Fordem.id – Menurut kamus Artificial Intelegen (AI) Arti “selilit” adalah sisa makanan yang terselip di sela-sela gigi. Selain itu, “selilit” bisa juga digunakan secara kiasan untuk merujuk pada sesuatu yang menjadi perintang. Tulisan pendek ini mengarah pada definisi kedua tentang makna perintang yang dikaitkan dengan kader dan kaderisasi.
Ada sebuah amal usah besar milik persyarikatan Muhammadiyah, asetnya sudah mencapai Milyaran, bangunannya megah dan kokoh, dipandang sekilas amal usaha ini sangat membanggakan. Ciri khas Muhammadiyah tampak dari logo dan simbol-simbol lain yang dapat langsung disaksikan.
Namun ada cerita agak tragis dan dramatis dibalik kemegahan yang ditampilkan. Keringnya ruh keislaman dan rapuhnya kaderisasi menjadi problem serius yang terus menggurita. Tidak ada proses perkaderan yang dijalankan secara sistematis, orang-orang yang menempati posisi strategis bukan kader persyarikatan, nuansa Muhammadiyah dan keislaman jauh panggang dari api. Suasana amal usaha lebih mirip kerajaan kecil yang dipimpin oleh Demang. Pada era kerajaan, Demang adalah jabatan Kepala Daerah setingkat lebih tinggi dari Lurah dan lebih rendah dari Wedana, yang bertanggungjawab atas wilayahnya dan terkadang memiliki peran militer.
Dalam suasana semacam itu, ekosistem perkaderan tidak terjadi. Bahkan kabarnya ada upaya yang agak serius agar institusi itu tidak boleh ada unsur kader militan yang memimpin. Jika ada kader potensial yang berusaha memerankan diri dianggap sebagai “selilit” bagi institusi. Segala upaya dilakukan agar juru bicara persyarikatan tidak tampil ke permukaan. Amal usaha yang seharusnya milik persyarikatan dan tunduk patuh pada ownernya justru yang terjadi sebaliknya.
Usut punya usut, para pimpinan dalam institusi itu tidak ada yang berangkat dari jenjang kaderisasi, yang penting Islam dan Profesional. Kata “yang penting” pada dasarnya berimplikasi pada pengabaian banyak hal substansial. Alasan profesional dan gelar akademik mentereng sering menjadi dalil utama dibandingkan kaderisasi dan ideologisasi. Walhasil diam-diam standar semacam itu menjadi bara dalam sekam. Orang-orang itu membawa gerbong masing-masing dengan pikiran dan semangat yang berbeda dengan Muhammadiyah.
Bukankah sudah banyak kabar yang memberitakan tentang aset Muhammadiyah diambil oleh pihak tertentu. Atau para pimpinan AUM yang merasa lebih hebat, lebih tinggi, lebih berjasa dari persyarikatan sehingga seenak jidatnya mengabaikan ketaatan. Tidak sedikit orang-orang jenius dengan semangat menyimpang beranak-pinak dan mengakar di amal usaha. Mereka berdiri kokoh memanfaatkan kebesaran nama Muhammadiyah untuk kepentingan pribadinya. Ada pula yang menawarkan wajah keislaman yang manis namun bercita rasa anti terhadap Muhammadiyah.
Mungkin orang-orang itu ada yang berjubah Pimpinan, Rektor, Direktur, Kepala Sekolah, Komisaris, Ketua, Manager, Kyai, Ustadz dan seterusnya. Tapi jiwa mereka tidak pernah berada dalam garis lurus perjuangan Muhammadiyah. Kelompok mafia persyarikatan ini akan terus bertahan dengan segala macam cara. Mereka tidak akan membiarkan selilit-selilit kader bergentayangan dan menghantui posisi strategis yang sudah lama mereka nikmati.
Rangkain jurus manipulasi dari kitab dunia hitam sudah dikuasai dengan baik. Wajahnya bisa beragam, terkadang tampak religius, akademis, menawan, ramah, sederhana, dermawan. Tetapi di balik semua tampilan wajah itu tersimpan energi jahat untuk membusukkan Muhammadiyah. Melawan mereka hanya dengan satu jalan: perbanyak selilit kader, agar niat jahat mereka terhambat…do ngati-ngati rek…
Kafe Kenangan, Selasa, 14 Oktober 2025 pukul 08.37 WIB. Sambil merampungkan editing buku Antologi Kiyai Jam’an.
*) Sekretaris MPKSDI PWM Jateng