Salatiga Merayakan Kerukunan

Oleh: Imam Sutomo

Fordem.id – Upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila Tingkat Kota Salatiga (Senin, 2/6/2025) dilanjutkan dengan penyerahan Penghargaan Kota Toleran Peringkat Pertama se-Indonesia dari Wali Kota Salatiga kepada Ketua FKUB. Dua kota (Salatiga dan Singkawang) bersaing ketat dalam lima tahun terakhir sebagai nomine kota toleran tingkat nasional.

Kado Istimewa” untuk Wali Kota yang baru, Bapak dr. Robby Hernawan, Sp.OG (K) FETO bahwa tahun 2024 Salatiga meraih Kota Toleran Nomor 1 di Indonesia. Selamat untuk Wakil Wali Kota, Ibu Nina Agustin 🙂 yang kini didaulat sebagai Penasihat FKUB.

“Suatu anugerah sangat luar biasa dan merupakan hadiah untuk warga kota Salatiga.” pengakuan tulus KH. Drs. Noor Rofiq. Tidak dapat dimungkiri anggota FKUB merasa terkejut dan bangga atas raihan predikat kota toleran.

Tokoh agama Hindu (Rama Wiku Satya Dharma Telaga) menyampaikan rasa syukur (astungkara), tetapi “Kita harus lebih waspada dan hati-hati dalam menerima anugerah ini. Salah sedikit saja melangkah, kita akan merosot jauh ke bawah.”.

Sedangkan Pdt. Daniel H. Iswanto merasa bangga sebagai warga Salatiga. Namun, tantangannya mempertahankan kota toleran nomor 1 sangat berat di tahun 2025.

Toleransi adalah sebuah kata multitafsir, sesuai dengan kecenderungan cara pandang individunya. Pandangan ragu dan cemas sering muncul karena khawatir toleransi yang “kebablasan” masuk pada wilayah yang menabrak doktrin agama.

Baca Juga:  PENGHARGAAN BINTANG MELATI

Pandangan positif progresif menganggap toleransi sebagai keniscayaan dalam kehidupan masyarakat plural, sehingga perlu digalakkan promosi lintas agama. Beda tafsir dalam sebuah topik kajian akan memperkaya wawasan dan pengetahuan yang lebih komprehensif untuk bahan pertimbangan.

Kajian akademik menyoroti upaya manusia sepanjang sejarah berkeinginan menata bumi dan penghuninya hidup damai serta memahami persoalan yang mengiringinya, termasuk konflik dan peperangan. Dari telaah sosiologi agama lahir term teologi pembebasan, teologi damai, teologi kerukunan, teologi toleransi, moderasi beragama, dan pembaca diberi peluang untuk menambah lagi istilah baru sebagai solusi problem kemasyarakatan.

Mencuatnya kekerasan, radikalisasi, terorisme, blasphemy (penghujatan, penodaan), kriminalisasi, persecution (persekusi, perlakuan kejam), dan Cherian George (2017) menggunakan istilah hate spin (pelintiran kebencian) adalah gambaran produk perilaku sosial yang paling kasat mata di era meledaknya media sosial.

Yenni Zannuba Wahid dkk. (2012) menyoroti tiga isu penting yang masih menggejala dalam masyarakat, yaitu: isu penodaan agama, pendirian rumah ibadah, dan penyiaran agama. Nyaris dalam periode tertentu ketiga isu sangat eksplosif dan mengganggu kenyamanan pergaulan.

Agama menyihir pemeluknya overdosis (berlebihan takarannya) gelora cinta dalam mempertahankan keyakinannya sendiri, sekaligus kebencian luar biasa terhadap selain yang dimilikinya. Kata toleran seakan penyeimbang menjembatani rasa “kebelet” cinta terhadap apa yang dimiliki dan benci setengah wafat kepada lawan.

Baca Juga:  Meneropong Masa Depan Demokrasi di Indonesia

Atas nama toleransi seseorang harus mampu menahan diri (ngampet) terhadap apa yang tidak disukai, tetapi digandrungi orang lain.😁😂 Untuk mengurangi rasa mangkel, gondok di hati perlu diingatkan bahwa dunia tidak hanya milik dirinya sendiri, tetapi orang lain (yang berbeda suku ras, atau agama) punya hak untuk memakmurkan alam sekitar sesuai seleranya.

Contoh konkret paling aktual masyarakat mudah marah dan sensitif manakala ajaran agama menjadi bahan olok-olok, sehingga para penggiat kebebasan harus empati dengan psikologi masyarakat. Penikmat mazhab kebebasan tidak harus demonstratif merayakan kemerdekaan di depan warga yang beraneka ragam kapasitas intelektualitasnya demi menjaga kerukunan. Norma sosial yang mendahulukan rasa hormat dan menjunjung tinggi kerukunan wajib dilestarikan dan dirawat sebagai fondasi pergaulan.

Merujuk tulisan Abdul Mu’ti (2019:12-13) bahwa toleransi memuat lima sikap: 1) menyadari adanya perbedaan agama dan keyakinan; 2) sikap dan minat belajar agama lain, baik persamaan maupun perbedaan; 3) menerima orang lain yang berbeda agama; 4) memberikan kesempatan dan memfasilitasi pemeluk agama lain untuk dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya; dan 5) membangun kerja sama yang merupakan titik-temu ajaran dan nilai-nilai agama yang bermanfaat untuk masyarakat dan bangsa.

Baca Juga:  PROBLEM KADER DAN ORGANISASI DALAM MENGAMALKAN PERINTAH ALLAH

Tanpa memahami makna toleransi secara utuh, sering muncul pandangan bahwa agama sebagai sumber konflik karena menutup diri tidak bersedia untuk belajar memahami keyakinan orang lain. Repotnya, penolakan secara membabi buta terhadap orang berbeda kepercayaan berlanjut untuk pembenaran saling hujat dan mengumbar kebencian.

SETARA Institute berhasil menggiring pemerintah kota di Indonesia untuk serius memerhatikan persoalan toleransi sebagai sebuah kebijakan mempromosikan kerukunan warga atau terperangkap dalam label kota intoleran.

Sampel 94 kota memperlihatkan representasi wilayah kategori toleran atau kebalikannya. Sebagai hiburan dipilih 20 besar kota (bukan kota besar) yang telah memenuhi kriteria sebagai kota toleran. “Prestasi Salatiga berturut-turut masuk 10 besar kota toleran,” sambutan Bapak Wali Kota pada acara penganugerahan kota toleran di Jakarta (Selasa, 27 Mei 2025).

Dua kampus (UIN dan UKSW) serta beberapa perguruan tinggi dapat mengambil posisi strategis menyuarakan dan mempromosikan toleransi melalui beragam aktivitas yang dapat diakses masyarakat.

Kerja sama sinergis pemerintah kota, forkompinda, lembaga legislatif, ormas, kantor dan lembaga, FKUB, dan seluruh komponen masyarakat masing-masing mempunyai kontribusi untuk pembangunan Kota Salatiga.

Upacara Hari Lahir Pancasila bukan upacara biasa saja, tetapi momen merenungkan kehebatan para tokoh pendahulu yang telah meletakkan fondasi hidup berbangsa bernegara dalam masyarakat plural.🙏

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *