Layly Atiqoh
Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari ayah, bunda dan anak yang saling ketergantungan. Ayah dan bunda memiliki peran yang sangat besar dalam mendidik putra-putrinya untuk tumbuh besar dan berkembang dengan baik. Akan tetapi, ada sifat tipikal yang dimiliki oleh bunda yang tidak mudah perannya diambil oleh ayah atau yang lainnya, yaitu mengasuh: menjaga, merawat, dan melindungi.
Sekarang apakah bedanya mendidik dan mengasuh? Mendidik, ketika mengubah perilaku secara permanen melalui proses dari tidak tahu menjadi tahu, paham, mahir, trampil, dan ahli. Sedangkan mengasuh dilakukan mulai dari menggendong, memeluk, menuntun, sampai memperhatikan. Keahlian inilah yang dimiliki oleh seorang bunda dalam mengasuh anaknya yang sifatnya benar-benar naluriah. Secara spesifik, seorang bunda adalah pengasuh karena yang mengandung, melahirkan, dan dialah yang menyusui sehingga memiliki ketrampilan yang khas di bidang pengasuhan.
Allah SWT. berfirman, hamalathu ummuhu wahnan ala wahnin, wafisholuhu fi ‘amayni, ”… Ibunyalah yang mengandungnya dalam keadaan berat dan bertambah berat, kemudian menyusuinya dalam rentang waktu dua tahun.” Hal itulah yang membangun kelekatan dan ikatan di antara ibu dan anaknya. Ikatan yang pertama adalah ikatan batin yang luar biasa kuat, begitu kuatnya bunda memengaruhi emosi anaknya ketika dia masih kecil. Bunda yang emosinya labil akan menjadikan anaknya mudah tantrum, anak yang masih kecil sudah bermasalah secara emosional, maka perlu diperiksa adalah bundanya. Kedua, bunda memiliki bonding attachment (ikatan orang tua dan bayi yang baru lahir), karena bunda yang telah mengandung, melahirkan, dan menyusui, bahkan karena kedekatan anak itu berada di dalam dirinya.
Melihat perihal tersebut yang menjadikan alasan bunda itu sebagai sosok pengasuh karena mengasuh membutuhkan suatu kedekatan yang begitu intim dan hampir tidak ada jarak. Mengasuh membutuhkan frekuensi, tingkat keseringan, bagaimana bunda memberikan perhatian secara penuh dalam keseharian pada anaknya. Selanjutnya, intensitas, seberapa lama bunda itu mendekap dan mendekatkan anaknya di dadanya pada anak.
Sekarang mengapa bunda yang harus mengasuh dalam kehidupan anaknya. Pertama karena bunda merupakan sosok yang feminim dan lembut, sebab anak adalah makhluk yang masih lembut, rapuh, demikian kulit dan tulangnya yang membutuhkan sentuhan kelembutan. Kedua, karena bunda yang memiliki cinta dan kasih sayang melimpah-ruah dibanding ayah yang lebih kuat egonya. Ketiga, bunda memiliki empati dan kepedulian kepada apa-apa yang ada di sekitarnya, dia memiliki kualitas yang lebih mementingkan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Keempat, karena bunda memiliki kekuatan pada hati dan telinganya. Kemampuan mendengarkan tangisan anak apakah karena lapar, kesakitan, gerah atau ngompol dibutuhkan telinga untuk membaca kebutuhan anak. Kelima, karena bunda bijaksana. Berbeda dengan ayah yang berpegang pada aturan, sistem, logika, sistematika, dan penalaran. Keenam, karena bunda memiliki attention to details. Maknanya adalah perhatian pada rincian-rincian yang detail, halus, dan kecil sedang yang lain menganggapnya hal yang remeh. Ketujuh, karena bunda mampu menjalankan fungsi multitasking yaitu mampu menangani beberapa hal sekaligus pada waktu yang sama. Hal ini merupakan alamiah yang dimiliki bunda, karena apabila tidak mampu ia akan kerepotan menjalankan perannya. Sambil menggendong seorang bunda bisa mencuci, memasak. Kedelapan, karena struktur anatomi seorang bunda mendukung untuk fungsi pengasuhan. Jika laki-laki memiliki ciri bahunya lebih besar sebagai anatomi memikul beban, sedang perempuan memiliki pinggul yang lebar untuk menggendong dan memangku anaknya.
Bunda engkau merupakan sosok, tauladan, inspirator bagi anak-anaknya. Kita sebagai anak tidak akan melupakan jasa dan pengorbanan besar yang telah dicurahkan pada anaknya. Sebesar apapun balasan yang diberikan anak tidak akan dapat tergantikan dengan kasih sayang yang telah diberikan bunda.
Referensi:
Rusfi, Adriano; Aqil Baligh Institut (2023). “Pendidikan Aqil Baligh”: 56–99.
*) Layly Atiqoh, M.Pd, Guru PAI SMP Negeri 7 Salatiga