Oleh: Ahwan Fanani
Fordem.id – Setiap akhir September, selalu ada keramaian pertanyaan tentang peristiwa G30S. Apakah G30S itu perlu ditambah kata ‘PKI’ atau tidak?
Ada yang bilang bahwa itu murni masalah internal TNI AD. Pertanyaannya: apakah saat itu anggota TNI tidak ada yang menjadi anggota PKI? Bukankah Syam Kamaruzzaman, otak G30S adalah Ketua Biro Politik PKI yang bertugas menyusup ke militer dan aparatur? Bukankah di Lubang Buaya ada pelatihan Pemuda Rakyat, underbow PKI, yang kemudian membantu penyiksaan para jenderal?
Ada yang bilang, Letkol Untung itu pernah menjadi bawahan dan teman Soeharto. Tetapi, saat menjelang gerakan G30S, ia menjenguk Soeharto yang sedang menunggui anaknya di rumah sakit.
Pertanyaannya adalah bukankah Letkol Untung itu Komandan Resimen Cakrabirawa. Resimen Cakrabirawa itu pengawal khusus Presiden, yang berarti bawahan langsung Presiden. Apa tidak mungkin saat bertemu Soeharto, Untung bilang: “Saya mendapat tugas dari presiden”. Lalu Soeharto bilang: “Oh, silakan”. Lalu dibilang G30S direstui Soeharto.
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan selesai dengan jawaban yang Seratus Persen meyakinkan. Itulah yang membuat perdebatan selalu muncul dan akan selalu muncul. Selalu ada narasi yang bertentangan, tetapi jika dicermati sebenarnya bisa dilihat ujung pangkalnya.
Ada generasi muda yang protes bahwa banyak orang PKI menjadi korban tanpa peradilan. Banyak orang tidak bersalah menjadi korban karena dituduh PKI. Tentu saja, gugatan demikian sah adanya. Harus diakui banyak korban tidak bersalah pasca G30S. Dalam situasi konflik memang potensi orang tidak bersalah menjadi korban jamak terjadi, diantara para pihak yang bertikai. Yang patut menjadi catatan adalah agar sejarah tidak mengulang kesalahan yang sama.
Tetapi orang juga bertanya, bahwa para ulama dan kalangan santri pernah dibantai di Madiun dan sekitarnya hanya karena mendukung program pemerintah untuk menertibkan tentara agar lebih profesional karena ada sebagian (menjadi bagian) anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Dan ada juga milisi bersenjata yang berafiliasi pada PKI. Karena itu, apa salah mereka sehingga dibantai hanya karena mendukung program Pemerintah. Bahkan aksi-aksi PKI pra G30S/PKI sebagian ditujukan pada ulama dan simbol agama.
Ada pula yang bilang bahwa PKI tidak anti agama. Para tokoh mereka itu berasal dari keluarga yang saleh, seperti Muso dan Aidit. Hal itu benar adanya.
Tetapi kebencian terhadap “setan desa”, termasuk tokoh agama, di kalangan anggota PKI sangatlah besar. Kalangan agama takut bahwa mereka dan anak-anak mereka akan dibantai PKI, disita rumah dan tanah mereka untuk dibagi-bagi sebagaimana terjadi di Rusia pasca Revolusi Bolshevik.
Cerita tentang data atau list tokoh agama yang akan dibunuh PKI, berikut galian tanah untuk calon korban menyebar luas, baik di Jawa Timur, Yogyakarta hingga Jawa Tengah. Rumah-rumah warga santri selalu bersiaga dengan senjata di tangan untuk mengantisipasi serangan PKI. Ketakutan inilah yang nantinya memantik dukungan masyarakat terhadap upaya penumpasan terhadap PKI.
Kenyataannya, permusuhan kalangan agama terhadap PKI tidak hanya dari kelompok Islam, tetapi juga dari kelompok Hindu di Bali dan Kristen serta Katolik di NTT. Pendiri dan tokoh gerakan mahasiswa anti-PKI atau KAMI pun berasal dari kelompok Katolik. Tampaknya antagonisme pendukung PKI dengan kelompok agama cukup keras.
Bahkan jika kita lihat permusuhan terhadap PKI itu merata pada banyak partai. Masyumi adalah lawan PKI yang paling lantang. Tetapi pembasmian terhadap PKI terjadi di wilayah dimana partai rekan NASAKOM itu mendominasi. Yaitu di Jateng, Jatim, Bali, NTT dan Sumut. Itu menunjukkan adanya hubungan rumit antara PKI dengan partai sejawatnya, karena mereka tidak menyukai PKI.
Sebenarnya, kisah masa lalu ini sudah selayaknya dihentikan. Yang lalu biarlah berlalu, semua menjadi pelajaran bagi generasi ke depan agar tidak terulang lagi tragedi seperti tahun 1965. Terlebih, sekarang sudah tidak ada hambatan apapun bagi anak keturunan PKI untuk berkarir di pemerintahan. Di masyarakat tidak pula terjadi diskriminasi kepada mereka. Semua sudah menjadi bagian dari anggota masyarakat secara penuh.
Tetapi memang godaan ketidakpuasan sebagian kalangan yang bersimpati terhadap PKI atau anggota PKI yang menjadi korban pada masa lalu kadang hendak membongkar kembali luka lama. Siapa korban dan siapa pelaku batasnya tipis sehingga setiap dukungan untuk membela PKI akan memantik respon yang berlawanan.
Guru Besar UIN Walisongo Semarang
