Oleh: Margo Hutomo
Rasulullah Saw. bersabda:
عن ثوبان رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: يُوشِكُ الأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا ” . فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ ” بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزِعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمُ الْوَهَنَ ” . فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهَنُ قَالَ ” حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ ”
Artinya:
“Akan tiba suatu masa dimana berbagai golongan mengeroyok kalian bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka. Seorang sahabat bertanya: Apakah karena jumlah kami sedikit pada saat itu? Nabi Saw. menjawab: (Tidak) bahkan, jumlah kalian pada hari itu sangat banyak, tetapi kalian seperti buih di waktu banjir. Allah mencabut rasa gentar dari hati musuh-musuh kalian dan Allah akan menanamkan penyakit al-wahnu pada hati kalian. Seorang bertanya, apakah al-wahnu itu, ya Rasulullah? Rasulullah menjawab, cinta dunia dan takut mati” (HR. Abu Dawud).
Di negeri ini, umat Islam dari segi jumlah sangatlah banyak, tapi dari segi mutu seperti buih. Sebab tamak (input) dan bakhil (output) terhadap perkara duniawi.
Sabda Rasulullah Saw. di atas adalah peringatan agar umat Islam mengingat tujuan penciptaanya, sehingga tidak terjangkiti penyakit cinta dunia dan takut mati.
Allah Swt. berfirman, artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, barang siapa yang murtad dari agama Allah, kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka, dan mereka pun mencintai Allah. Mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir. Mereka berjihad di jalan Allah dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela” (QS. Al-Maidah: 54).
Manusia yang tamak dan bakhil serta cinta dunia pasti tidak memiliki rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Apalagi memperjuangkan agama Allah. Sebab mereka lebih memilih kepentingan hawa nafsunya, berupa harta, tahta, wanita dan anak keturunan -nya. Akibatnya, mereka jauh dari rasa cinta berkurban untuk sesamanya.
Syeikh Amir Syakib Arsalan dalam bukunya “Limadza Takkharal Muslimun wa Limadza Taqaddama Ghairuhum” menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkurban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat. Sehingga mereka berhasil menjajah umat Islam di berbagai belahan dunia.
Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam.
Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut tanah Palestina. Tengoklah sejarah, mengapa kaum muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri itu?.
Mengapa Kota Yerusalem bisa diduduki pasukan Salib (1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya?. Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad pada 1215?.
Benang merah dari hancurnya peradaban Islam disebabkan sifat tamak dan bakhil umat Islam terhadap dunia.
Dr Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, “Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin wa-Hakadza Aadat al-Quds” dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama dan masyarakat pada saat kejatuhan Kota Suci Yerusalem di tangan pasukan Salib. Penyakit tersebut merajalela tidak hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan aktivitas amar makruf nahi munkar.
Mereka membiarkan kemunkaran merajalela karena sibuk memikirkan kejayaan, kekayaan dan keuntungan pribadi serta kelompoknya. Satu lagi, penyakit kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam perpecahan antar mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Mereka sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya dengan mencaci-maki kelompok lainnya.
Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh hari pernah mengingatkan akan bahayanya penyakit ini, karena bisa mengancam negara Indonesia.
Pada 17 Agustus 1951, enam tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul: “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut”. Melalui artikel tersebut Mohammad Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta berkurban pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan.
Dahulu, mereka merasa gembira meskipun hartanya habis, rumahnya terbakar dan anaknya gugur meninggal dunia di medan pertempuran.
Kini, mereka selalu merasa kurang dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara merdeka yang dicitakannya. Suka menghitung pengorbanan yang telah dilakukan serta minta dihargai. Bahkan ada yang lebih parah, yaitu sengaja menonjolkannya ke muka umum agar masyarakat menghargai pengorbankannya.
Dahulu, mereka dengan tulus berkurban untuk masyarakat, tetapi kini mereka mengharapkan balasan setimpal, bahkan ada yang meminta lebih.
Sekarang banyak timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu, serta keserakahan yang merajalela. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang pada keberatan memberikan keringat, sekalipun untuk tugasnya sendiri.
Pada 1980-an, M. Natsir pernah berpesan kepada sejumlah cendekiawan muslim yang mewawancarainya: “Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia”.
Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan merupakan gejala baru. Dimana kita tidak pernah jumpai di masa Revolusi dan Orde Lama (kecuali sebagian kecil elite masyarakat). Tetapi, gejala baru ini terasa amat pesat perkembangannya pada akhir-akhir ini. Sehingga telah menjadi wabah dalam masyarakat.
Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus-nenerus, maka bukan saja umat Islam yang akan mengalami kejadian sebagaimana menimpa di Spanyol. Namun bagi seluruh anak bangsa akan menghadapi persoalan sosial yang serius.
Nabi Muhammad Saw. sudah mengingatkan bahayanya penyakit al-wahnu tersebut. Dan sejarah telah membuktikan.
Kini kita bisa menilai, apakah bangsa Indonesia yang jumlah umat Islamnya terbesar di dunia sedang menuju proses kebangkitan ataukah sedang menggali kuburnya sendiri?
Wallahu A’lam
Batang, 5 Oktober 2025
*) Red. Fordem.id – Drs. Margo Hutomo, Lc. Mubaligh Muhammadiyah di akar rumput. Alumni Madrasah Muallimin Muhammadiyah Pekajangan Pekalongan; Pengasuh Majelis Muthala’ah Al-Quran (MMA) di Pekalongan dan Batang.
