Menempa Slilit Kader: Membangun Kemerdekaan dari Ketergantungan

Oleh: Suwatno

Fordem.id – Carita ini bukan bermaksud merendahkan profesi apa pun. Setiap pekerjaan halal adalah mulia di sisi Allah. Namun, ada satu hal yang membuat saya resah “bukan soal profesi” melainkan cara berpikir kader yang kini semakin kehilangan semangat kemandirian.

Kunjungan Sore yang Menggetarkan Hati

Sore itu, udara Wonosobo terasa sejuk. Langit mendung, tapi tidak hujan. Saya mampir ke salah satu AUM besar, Amal Usaha Muhammadiyah yang dikenal megah di kota itu. Bangunannya menjulang, aktivitasnya ramai, dan katanya sudah punya kapasitas 180-an kamar. Tentu Anda sudah bisa menebak, itu Rumah Sakit Muhammadiyah.

Di pelataran rumah sakit, saya bertemu seorang kader muda.

Tubuhnya kurus, wajahnya ramah dan tangan kanannya memegang peluit serta tiket parkir. Ia seorang juru parkir, profesi yang tidak rendah, karena ia mencari rejeki dengan cara yang jujur dan halal.

Saya menyapanya, berbincang ringan, lalu perlahan saya tanya:

“Kamu pernah kepikiran nggak untuk dagang kecil-kecilan? Bikin usaha sendiri gitu?”

Dia tersenyum, tapi jawabannya menampar kesadaran saya:

“Saya mah nggak bisa dagang Pak. Saya pengin jadi karyawan aja, yang penting gaji tetap tiap bulan.”.

Di Titik Itulah Saya Terdiam

Saya termenung cukup lama. Bukan karena rendahnya profesi yang dia jalani, tapi karena pola pikir yang dibentuk oleh sistem yang salah. Padahal, Muhammadiyah sejak awal berdiri justru tumbuh dari kemandirian umat.

Baca Juga:  Salatiga Merayakan Kerukunan

KH. Ahmad Dahlan tidak mendirikan Muhammadiyah dari warisan kekuasaan,

tapi dari semangat tauhid, kerja keras, dan keberanian untuk berdikari. Namun kini, di tengah besarnya AUM dan kekuatan organisasi, semangat itu justru memudar. Kader muda lebih banyak bercita- cita menjadi pegawai AUM daripada menjadi penggerak ekonomi umat. Kemandirian seolah hilang, digantikan rasa aman semu dari gaji bulanan.

Apa itu Slilit Kader?

Istilah “slilit kader” bukan bermakna negatif. Ia diambil dari kata “slilit” sesuatu yang kecil tetapi mengganjal di sela-sela gigi. Dalam konteks ini, slilit kader adalah simbol kader pengingat, yang mengganjal setiap kali organisasi melenceng dari ruh perjuangan. Mereka bukan pembangkang, melainkan penjaga moral dan arah gerakan.

Namun, untuk melahirkan slilit kader, dibutuhkan kemandirian ekonomi dan keberanian spiritual. Sebab, hanya orang yang merdeka yang bisa berkata benar di hadapan kekuasaan. Hanya orang yang tidak bergantung pada jabatan yang berani menegakkan keadilan.

Baca Juga:  LAKU BATIN SEORANG GURU : Agar Pembelajaran Berkesan

Ketika Kader Menjadi Pegawai, dan Pegawai Menjadi Tergantung

Banyak kader muda kini nyaman di zona gaji tetap. Tidak sedikit yang akhirnya menutup mata terhadap penyimpangan di sekelilingnya, karena takut “tidak diperpanjang kontraknya”.

Padahal, seperti kata Buya Syafi’i Ma’arif: “Muhammadiyah akan kehilangan ruhnya jika kadernya takut pada jabatan dan harta.”.

Dan seperti yang pernah diingatkan oleh Buya Haedar Nashir:

“Aset persyarikatan bukan milik individu, tapi milik umat. Maka jangan ada yang menguasainya untuk kepentingan pribadi”.

Bagaimana mungkin kader bisa menjaga amanah ini,

kalau sebagian besar masih bergantung secara ekonomi pada struktur yang justru perlu dikritisi?

Membangun Slilit Kader yang Merdeka

Slilit kader tidak lahir dari ruang rapat atau pelatihan formal. Mereka lahir dari jiwa yang bebas dari ketakutan kehilangan posisi. Mereka terbentuk dari mental saudagar, bukan mental pegawai. Mereka berani karena rejekinya tidak ditentukan manusia.

Baca Juga:  Strategi Digital Memperkuat UMKM: Inspirasi dari Seminar Komunikasi Bisnis ITBMP

Maka, membangun slilit kader berarti membangun ekosistem ekonomi kader. Kader Muhammadiyah harus diberi ruang untuk menjadi pengusaha, petani modern, inovator digital, atau pelaku UMKM yang tangguh. Bukan hanya sebagai pelengkap AUM, tapi penopang kemandirian organisasi.

Bayangkan jika setiap Ranting Muhammadiyah memiliki 10 “slilit kader” yang kuat akhlaknya, tangguh ekonominya, dan berani bersuara. Tidak akan ada lagi “mafia persyarikatan” yang berani menyelewengkan aset umat, karena mereka tahu ada slilit yang siap “mengganjal tenggorokan ketamakan.”

Seruan untuk Saudagar Muhammadiyah

Para Saudagar Muhammadiyah, anda punya peran besar dalam sejarah gerakan ini. Sebagaimana KH. Ahmad Dahlan didukung para saudagar Yogyakarta tempo dulu. Hari ini pun kader ekonomi-lah yang bisa mengembalikan kemandirian gerakan.

Mari jadilah donatur kaderisasi, buka peluang kerja sama bisnis bagi kader muda, dan bantu mereka merdeka dari ketergantungan ekonomi. Sebab dari merekalah akan lahir slilit kader, yang menjaga Muhammadiyah tetap di jalan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.

Wonosobo, 20 Oktober 2025

*) Suwatno Ibnu Sudihardjo, Inisiator AspirasiMu. Pegiat dan Pelaku UMKM Muhammadiyah Banyumas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *