INI SOAL SUDUT PANDANG

Oleh: Gus Zuhron

Fordem.id – Dalam khazanah cerita klasik Persia, ada sebuah kisah legendaris antara seorang Panglima perang dengan anak kandungnya. Panglima besar ini dikenal sebagai komandan tempur yang tidak pernah kalah dalam banyak medan pertempuran.

Suatu ketika di masa rehat yang cukup panjang sang panglima memutuskan untuk menikah, berkeluarga dan hidup normal layaknya manusia lainnya. Semua mimpinya terwujud dengan baik. Menikah dengan seorang perempuan cantik dan dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan. Putra semata wayangnya tumbuh menjadi anak yang cerdas dan lucu. Kebahagiaan terasa sempurna dengan semua kelengkapan hidup yang dimiliki.

Suatu hari, panglima mendapatkan surat dari Raja untuk memimpin pasukan menaklukkan negeri-negeri yang menjadi target kekuasaan. Dalam tradisi Persia, perang besar tidak bisa diselesaikan hanya dalam hitungan bulan, perang semacam itu bisa memakan waktu bertahun-tahun. Ketaatan pada negara menjadikan panglima harus mengikhlaskan meninggalkan keluarganya.

Sadar kepergiannya akan memakan waktu lama, maka, panglima berinisiatif memakaikan sebuah kalung ikonik kepada anaknya. Tujuannya sederhana, agar tetap bisa mengenali anaknya meskipun sekian tahun telah berpisah.

Perang demi perang dilalui, hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Entah sudah berapa negeri yang ditaklukkan dan entah sudah berapa tahun meninggalkan keluarganya.

Baca Juga:  LITERASI: HADIAH BUKU DI HARI KURBAN

Dalam sebuah pertempuran panglima menemukan lawan yang cukup tangguh. Seorang anak muda gagah berani dan piawai dalam ilmu kanuragan. Jurus demi jurus berlalu, ayunan pedang dengan berbagai gerakan terjadi, namun lawan tetap belum tumbang. Tetapi pengalaman sang panglima menjadikan duel itu dapat dimenangkan.

Tinggal satu ayunan pedang maka kepala lawan akan terpisah dari badannya. Tetapi sebelum itu terjadi anak muda yang menjadi lawannya mengatakan “seandainya ayahku bersamaku maka engkah akan mudah dikalahkan”.

Kata-kata itu menghentikan sejenak perkelahian keduanya. Luka sayatan dan darah terus mengalir di tubuh pemuda itu. Nyawa sudah diujung tanduk, tetapi semangat untuk bertahan hidup dan memenangkan peperangan masih terus menyala.

Rasa penasaran sang panglima tiba-tiba muncul. Siapa ayah dari pemuda ini..? Kenapa anak ini percaya diri bahwa ayahnya bisa mengalahkan dirinya? Bukankan tidak ada panglima lain yang lebih hebat dari dirinya?

Rasa penasaran itu menjadikan sang panglima bertanya : “siapa ayahmu dan katakan dimana orangnya?”. Pemuda yang tidak berdaya menjawab dengan menyebut satu nama “ayahku namanya Bardan panglima perang yang tidak kalah hebat darimu”.

Jawaban itu membuang sang panglima terperanjat, karena itu adalah namanya. Seketika panglima mendekati pemuda tadi dan mencari tanda ikonik berupa kalung yang dulu pernah dipakaikan kepada anaknya. Untuk memastikan apakah itu anaknya atau bukan.

Baca Juga:  Pemungutan dan Penghitungan Suara Banyak Pasal Tindak Pidana

Ternyata kalung itu dikenakan pemuda yang baru saja dikalahkannya.

Menyadari bahwa itu adalah anak kandungnya yang telah ditinggal sekian tahun yang lalu, panglima bergegas memeluk erat lawan duelnya itu.

Tanpa berpikir panjang, pemuda yang telah sekarat itu diangkat dan dilarikan ke hadapan Raja, panglima memohon kepada raja untuk menyiapkan tabib terbaik agar putra kandungnya dapat diselamatkan. Namun jawaban raja tidak sesuai harapan “dia memang anak kandungmu, tapi dalam situasi ini dia adalah musuh perang yang harus dibinasakan”. Akhirnya anak muda itu gagal diselamatkan dan mati di tangan dirinya sendiri.

Ada pelajaran menarik yang bisa kita ambil dari kisah di atas. Perubahan sikap yang kontras dari sang panglima adalah pesan inti dari cerita ini. Awalnya, pandangannya diliputi kebencian dan permusuhan. Apa yang dilihat dari anak muda itu hanyalah entitas keburukan yang harus dihancurkan.

Baca Juga:  PRAKSISME ISLAM MELAMPAUI SANG MISTIKUS

Tetapi pandangan itu berubah setelah memahami siapa lawan yang menjadi musuhnya. Perasaan cinta dan kasih sayang seketika hadir. Semangat mematikan berubah menjadi semangat menghidupkan. Energi menghancurkan berubah menjadi energi menata dan membangun. Semangat merayakan kemenangan di atas penderitaan orang lain berganti menjadi perasaan empati atas derita dan kesedihan.

Ini soal sudut pandang, keberadaannya dipengaruhi oleh lingkungan komunitas dan referensi bacaan yang membentuk struktur mentalitasnya. Tidak mampu keluar dari tempat yang membonsai pikiran semacam itu akan menjadikan sudut pandang seseorang menjadi sempit, kerdil dan fatalis. Perlu menyisakan ruang dalam pikiran untuk bisa menerima segala sesuatu yang mungkin di luar pemahaman yang telah diyakini.

Pikiran yang terbonsai biasanya akan melihat orang yang berbeda pandangan sebagai musuh yang tidak tersisa kebaikan di dalamnya. Padahal tidak mustahil, seseorang yang kita nilai keburukannya diam-diam mendoakan, menjaga aib dan menjadi jembatan kebaikan atas semua pencapaian yang sudah kita dapatkan. Ubah sedikit saja sudut pandang, maka dunia akan baik-baik saja.

Rumah Sanggrahan, Sabtu, 01 Februri 2025 pukul 05.43 WIB.

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *