Wahyudi Nasution
“Sebenarnya gak papa jagoku kalah, Pak Bei, asal pertandingannya fair, panitia dan jurinya adil,” kata Kang Narjo usai nyeruput kopi panas.
“Ndelalah berkali-kali nyoblos Pilpres jagoku selalu kalah, berkali-kali nyoblos DPR, DPD, dan DPRD juga sering gak lolos. Sudah biasa,” lanjutnya dengan nada terdengar “nggrantes”.
“Karena Kang Narjo gak titis milih jago, kan?” komen pak Bei.
“Ya mungkin, Pak Bei. Tapi yang pasti aku punya kriteria jago yang layak kupilih.”
“Yang kelihatan alim, shalih, dan pinter, ya?”
“Itu salah satunya.”
“Kang, masyarakat tidak butuh orang alim, shalih, dan pinter. Yang dibutuhkan hanya orang yang mau memberi amplop atau sembako menjelang pemilihan.”
“Maaf saja, Pak Bei, aku bukan seperti itu. Meski ekonomiku tergolong pas-pasan, aku tidak mau kok didaftar sebagai penerima Bansos, PKH, atau BLT. Sampai aku dibilang sombong oleh Pak RT dan Pak Kadus. Apalagi cuma amplop 50ribuan. Sorry yee…..”
“Tapi kemarin nerima amplop juga, kan?” goda Pak Bei.
“Ndelalah gak ada yang nawari aku, Pak Bei. Sorry yee….”
“Makanya jagomu kalah terus, Kang.”
“Gak papa. Itulah caraku mencintai NKRI.”
“Maksudmu?”
“Aku memilih Caleg dan Capres-Cawapres bukan karena nerima amplop atau sembako.”
“Memangnya yang kemarin nerima amplop dan sembako tidak mencintai NKRI, Kang?”
“Jelas, Pak Bei. Itu sama saja merusak NKRI.”
“Kok bisa, Kang?”
“Pak Bei, aku masih ingat dulu ustad dalam satu pengajian yang kuikuti pernah mengingatkan satu ayat dari Allah SWT.”
“Apa pesannya?”
“Beliau membacakan satu ayat Al-Quran, tapi aku lupa surah apa ayat berapa, yang artinya : ‘Janganlah kalian seperti perempuan yang mengurai benang yang sudah dipintal dengan kuat menjadi tercerai-berai kembali. Kalian menjadikan janji dan sumpah hanya sebagai alat menipu di antara kalian, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain’. Ayat itu jelas sekali kan, Pak Bei?”
“Maksudnya bagaimana itu, Kang?”
“NKRI kita ini terdiri dari 1.240 suku bangsa dan 780 bahasa daerah. Iya, kan?”
“Iya benar.”
“Ribuan pulau, suku bangsa, dan ratusan bahasa itu ibarat kapas, lalu oleh para pahlawan pendiri bangsa dipintal menjadi benang yang kuat dan dianyam menjadi lembaran kain yang indah bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
“Wah benar juga itu, Kang. Terus…”
“Sayang sekali bila ternyata kita justru menjadi seperti perempuan yang merusak kain indah dengan benang yang telah dipintal kuat hingga kembali menjadi kapas yang tercerai-berai. Dan, itu hanya karena kita terperdaya oleh janji- janji manis para politikus yang disponsori para cukong dan oligarki.”
“Edan. Elok tenan, Kang Narjo,”.
Pak Bei diam-diam mengagumi kemampuan Kang Narjo menafsirkan ayat Al-Quran dan menghubungkannya dengan situasi nyata. Dia bukan mufasir, bukan ahli tafsir, hanya seorang loper koran. Tapi mungkin karena rajin menghadiri pengajian dan budaya literasinya cukup bagus dengan membaca berita setiap pagi, dia jadi bisa menafsirkan satu ayat Al-Quran secara kontekstual.
“Edan Kang Narjo, pagi-pagi sudah nguliahi aku,” kata Pak Bei dalam hati. Tak habis pikir, tapi juga bersyukur punya sahabat loper koran satu ini.
Klaten, 18-02-2024
#mpmppmuhammadiyah
#jatampusat
#lpumkmpdmklaten