DOKUMENTASI DAN MEDIA SOSIAL

Oleh: Khafid Sirotudin

Dokumentasi itu penting sebagai penanda peradaban. Tanpa dokumentasi tidaklah mungkin saat ini kita mendapati mushaf kitab suci, kitab hadis, buku, arsip, foto, video, data serta fakta-fakta di masa lalu. Museum dan perpustakaan milik negara/institusi/pribadi adalah bukti peradaban literasi. Budaya membaca merupakan keniscayaan bagi sebuah bangsa, komunitas dan masyarakat.

Iqra’ (bacalah) adalah kata pertama firman Tuhan di dalam kitab suci Al-Qur’an. Membaca tidak berhenti sekedar ‘membaca’ dengan kasat mata sebuah manuskrip, tulisan, artikel, buku/kitab. Tetapi juga mendengar, melihat, memperhatikan, meneliti semua gambar, foto, video, artifak sejarah di masa lalu.

Dengan akalnya peradaban manusia mampu menciptakan “huruf Braille”. Sehingga dengannya lahirlah buku dan mushaf kitab suci yang dapat dibaca kaum tuna netra. Bisa dibaca saudara penyandang buta mata dan sebagian orang yang memiliki ketrampilan membaca huruf braille. Sebab banyak pula bacaan yang terlihat kasat mata, namun tidak mampu “dibaca” dengan “mata aji”. Yaitu mata hati, mata batin, akal pikiran dan logika nalar waras yang bersifat burhani dan irfani.

Saya menjadi teringat pelajaran “foto jurnalistik”, salah satu materi menarik yang pernah saya ikuti tatkala mengikuti Pendidikan Jurnalistik Pers Kampus tingkat madya. Kebetulan saya menjadi salah satu aktivis pers kampus (1989-1994). Majalah Edents, tempat saya belajar dan menekuni jurnalistik, merupakan salah satu majalah mahasiswa di lingkungan FE Undip yang cukup kesohor. Bahkan pernah menjuarai lomba pers mahasiswa tingkat nasional.

Pada era millenial dan digital sekarang, masyarakat dengan amat sangat mudah mengakses segala informasi dan dokumentasi secara bebas. Tak peduli informasi itu benar atau salah, baik atau buruk, hak maupun batil, manfaat atau unfaedah untuk kita, anak-anak dan orang lain. Semua dokumentasi (jejak digital) berupa tulisan, gambar, foto, video, story sosmed dengan mudah dapat ditemukan dalam puluhan Milyar Gegabits setiap hari.

Disinilah pentingnya kita memiliki kemampuan dan ketrampilan literasi digital dan melek literasi media. Apalagi kita memasuki era Post Truth, dimana kebenaran informasi menjadi absurd dan cenderung bebas dari nilai kebenaran, kebaikan dan kemanfaatan. Sehingga kita lupa ajaran peradaban dari para leluhur kita : “ajining diri seko obahing lati lan driji”. Masyarakat umum dan netizen akan menilai kualitas kepribadian seseorang berdasarkan ucapan dan postingan di media mainstream dan media sosial.

Dalam satu dua dasawarsa terakhir, kita bisa menemukan dokumentasi foto dan video kalangan artis dan sosialita yang mengabadikan proses persalinan dirinya atau istrinya. Menarik memang mengabadikan sebuah proses kelahiran seorang bayi. Masalahnya, kita hidup tidak sendirian. Kita berhadapan langsung dengan norma sosial, norma adat, norma agama dan etika profesi yang berlaku. Apakah hal itu diperbolehkan oleh Otoritas yang memiliki kewenangan mengatur dan melindungi kepentingan umum. Benarkah tindakan itu telah dibenarkan dan disahkan menurut etika profesi (dokter, paramedis, jurnalis).

Pernah terjadi kasus, masyarakat awam mendokumentasikan tubuh mayat seseorang yang tercerai berai akibat tertabrak kereta api di perlintasan KA tanpa palang di Weleri. Serta kasus orang bunuh diri dengan cara menggantung di bawah “blandar” rumahnya. Dalam hitungan menit, ternyata ada orang yang mengunggahnya ke dalam medsos. Maka dalam beberapa menit kemudian, postingan naif itu tersebar ke ratusan bahkan ribuan group Whatapps (WA). Jika kebetulan korban tersebut masih kerabat dekat keluarga atau teman “endah koyo ngopo rasane ati lan pikiran” (seperti apa perasaan dan pikiran) orang yang menyaksikan kejadian tersebut di WA Group.

Seorang jurnalis televisi pernah mengingatkan bahwa menyaksikan semenit tayangan video yang tidak baik (buruk, jelek) tidak dapat dihapus dengan mengikuti pengajian kultum (kuliah tujuh menit) sebanyak seribu kali”“Hard-disc” di otak manusia lebih mudah menerima dan menyimpan memori buruk atau jelek hasil rekaman mata (video) daripada memori baik hasil rekaman telinga (audio). Mengapa?, sebab kecepatan suara 1.238 km per jam, sedangkan kecepatan cahaya hampir 300.000 km per detik.

Barangkali masih bisa dipahami apabila yang mendokumentasikan itu petugas polisi untuk keperluan forensik. Atau relawan MDMC-LRB yang sudah terlatih secara profesional dan moral, membantu pemulasaraan jenazah korban laka lantas untuk keperluan visum di Rumah Sakit Muhammadiyah Aisyiyah (RSMA) maupun RSUD. Tetapi jika yang melakukan dokumentasi itu orang yang hanya sekedar mengejar banyaknya follower, subscriber atau netizen agar supaya semakin terkenal dan mendapatkan keuntungan finansial, tentunya sangat tidak elok, tidak etis, tidak berperikemanusiaan dan tidak Pancasilais.

Sebagai gerakan Islam, Dakwah dan Tajdid, persyarikatan Muhammadiyah melalui Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) telah mengeluarkan panduan (kaidah) sosmediyah bagi netizen. Panduan bagi para pimpinan, kader, warga, simpatisan dan umat. Mari kita bijak bersosmed, agar tidak terjebak dan termasuk ke dalam anggota Ahlul Ghibah wal Jamaah, apalagi Ahlul Fitnah wal Jamaah. Naudzubillah.
Wallahu’alam

 

Pagersari, Senin Kliwon 22 Juli 2024

*) Red. Fordem.id