Oleh: Gus Zuhron
Kami memanggilnya “Mbah Paidi”, seorang Kepala Sekolah legendaris dari sebuah sekolah milik Persyarikatan Muhammadiyah. Tepatnya di Desa Wonosari Kabupaten Lampung Timur. Lebih dari 30 tahun berkuasa dan tidak tergantikan. Bahkan kabarnya sampai dengan beliau pensiun masih dipercaya sebagai Kepala Sekolah.
Kalau ada satu keluarga antara bapak dan anak bersekolah di tempat yang sama, dipastikan mereka akan bertemu Kepala Sekolah yang sama pula. Rezim penguasa boleh berganti tapi Kepala Sekolah tetap “Mbah Paidi”.
Mbah Paidi di mata para muridnya dikenal sebagai sosok yang kaku, tegas, kadang- kadang lucu, ngomong sekenanya, ulet, pekerja keras dan ikhlas. Selain menjadi Kepala Sekolah, beliau juga mengampu mata pelajaran Bahasa Inggris dengan “spelling dan pronunciation” yang biasa-biasa saja.
Saat ucapan bahasa Inggrisnya keluar terasa seperti Inggris dengan “Javanis style” alias bahasa Inggris dengan logat Jawa yang kental. Gaya mengajarnya datar dan sedikit membosankan. Namun anehnya kehadiran Mbah Paidi seperti magnet kuat yang banyak dirindukan oleh para murid.
Dalam tradisi pesantren dikenal mahfuzhat:
“Warruhul ustadz ahammu mingkulli syaik”,
“Spirit atau semangat seorang guru itu melampaui segalanya”.
Barangkali itulah yang melekat pada diri Mbah Paidi. Meskipun gaya mengajar dan kepemimpinannya biasa saja, tetapi semangat dan keikhlasannya menjadikan sang maha guru terus dikenang oleh para santri yang pernah menimba ilmu darinya. Agaknya kekuatan dari dalam (inner drive) semacam ini yang hilang dari para praktisi pendidikan hari ini. Mereka hebat dalam metode dan canggih dalam media. Namun jika keduanya tidak ditopang dengan spirit keikhlasan maka untaian kata yang keluar akan terasa hampa.
Mbah Paidi berkuasa lama setidaknya karena tiga sebab.
Pertama, pada saat itu belum ada aturan persyarikatan yang membatasi kekuasaan Kepala Sekolah. Peraturan itu baru muncul pada kurun 20 tahun terakhir.
Kedua, proses kaderisasi kepemimpinan yang tertunda cukup lama.
Ketiga, kondisi sekolah yang berada di tengah kampung, fasilitas terbatas, jauh dari sorotan media, jauh dari keramaian kota, menjadikan sekolah ini tidak cukup menarik bagi mereka yang mengejar prestise. Dengan keadaan semacam itu satu-satunya tokoh yang mampu bertahan di tengah lilitan beragam persoalan adalah Mbah Paidi.
Dalam konteks hari ini, peristiwa Kepala Sekolah abadi seperti kisah di atas tidak boleh terjadi. Tentu berlaku juga untuk kepemimpinan amal usaha yang lain. Sebab Muhammadiyah telah memiliki perangkat regulasi yang cukup baik, proses kaderisasi yang agak lumayan dan infrastrukur amal usaha yang relatif memadai.
Kekuasaan yang terlalu lama berpotensi menjadikan orang baik menjadi buruk, orang kreatif menjadi kehilangan kreativitasnya, orang demokratis menjadi otoriter. Oleh karena itu kekuasaan harus dibatasi untuk menyelamatkan orang-orang yang berprestasi.
Jika tidak dalam keadaan darurat, jalan menerobos regulasi tidak pernah dibenarkan. Orang yang penuh prestasi perlu didiasporakan di tempat lain untuk menebar kebaikan. Jangan biarkan orang hebat bertahan hanya di satu tempat, sebab kebermanfaatannya akan menjadi terbatas. Kita dorong manusia-manusia hebat itu menorehkan prestasi yang lebih tinggi dan hebat.
Mbah Paidi adalah contoh Kepala Sekolah yang terpaksa harus menapaki jalan panjang kepemimpinan. Keadaan kedaruratan yang dihadapi tidak memungkinkan baginya untuk melepaskan tanggung jawab itu. Seandainya harus memilih, pasti beliau akan mengatakan “cukuplah sampai di sini, saatnya orang lain yang memimpin dengan prestasi yang lebih baik”.
Kantor LP2SI Unimma, Selasa, 29 Juli 2025, 08.01WIB.
Sambil mengenang masa-masa sekolah di MTS Muhammadiyah Wonosari Lampung Timur, lulus 1997
*) Red. Fordem.id – Penulis merupakan Sekretaris MPKSDI PWM Jateng 2022-2027