Oleh : Trias Bratakusuma, SE.,Ak., M.MSI (Pegiat IT di Kampung Programer)
Fordem.id – Beberapa bulan lalu saya bertemu dengan seorang pemilik usaha kecil di Jawa Tengah.
Usahanya bergerak di bidang produksi mainan anak-anak. Produk-produk mereka dijual ke berbagai toko mainan lokal dan juga dipasarkan secara daring melalui media sosial. Usaha ini sudah berjalan hampir sepuluh tahun, dengan sekitar dua puluh lima karyawan.
Namun, seiring meningkatnya permintaan, masalah baru mulai muncul. Ia bercerita bahwa pencatatan produksi sering terlambat, stok bahan baku sering tidak sesuai dengan catatan, dan pesanan online tidak selalu tersinkron dengan produksi di bengkel. “Kalau semua masih manual seperti ini, saya takut nggak bisa mengontrol lagi,” ujarnya sambil menghela napas. “Banyak yang bilang saya harus digitalisasi bisnis, tapi saya nggak tahu harus mulai dari mana. Semua vendor datang menawarkan sistem katanya biar saya lebih efisien. Tapi saya takut salah pilih, salah investasi.”
Kekhawatiran itu sangat wajar. Banyak UMKM terjebak dalam euforia digitalisasi yang serba cepat terburu-buru membeli aplikasi, berlangganan software, atau bahkan membuat sistem sendiri tanpa memahami kebutuhan yang sebenarnya. Akibatnya, sistem yang dibeli tidak terpakai, karyawan bingung, dan proses justru menjadi lebih rumit dari sebelumnya.
Saya kemudian menjelaskan padanya bahwa transformasi digital bukan tentang teknologi yang paling canggih, tapi tentang bagaimana teknologi bisa membantu bisnis bekerja lebih baik. Dan sebelum bicara soal teknologi, ada tiga hal yang jauh lebih penting: orangnya, prosesnya, dan barulah teknologinya.
Pertama adalah people orang-orang di dalam usaha itu sendiri. Tanpa kesadaran dan kesiapan tim, perubahan apa pun akan sulit berhasil. Karyawan harus tahu mengapa mereka perlu berubah, bukan hanya apa yang berubah. Di banyak UMKM, resistensi muncul bukan karena menolak teknologi, tapi karena tidak paham manfaatnya. Maka sebelum membeli sistem, pemilik usaha perlu membangun budaya baru: terbuka terhadap data, kolaboratif, dan siap belajar hal baru.
Kedua adalah process. Banyak usaha yang sebenarnya tidak butuh sistem yang rumit yang mereka butuhkan adalah proses yang lebih rapi. Dalam kasus usaha mainan tadi, proses produksi, pengepakan, dan distribusi harus berjalan dalam alur yang jelas. Jika prosesnya masih acak, menambahkan teknologi hanya akan mempercepat kekacauan. Maka langkah terbaik adalah meninjau ulang alur kerja: bagaimana pesanan diterima, bagaimana bahan baku digunakan, bagaimana stok diperbarui, dan bagaimana laporan keuangan disusun semuanya harus terhubung dengan sederhana tapi disiplin.
Baru yang ketiga adalah technology. Setelah orangnya siap dan prosesnya jelas, barulah teknologi masuk untuk memperkuat keduanya. Dan di sinilah efisiensi menjadi kunci.
Tidak perlu langsung menggunakan sistem besar dan mahal. Banyak solusi berbasis open source seperti Odoo Community atau platform cloud ringan yang sangat sesuai untuk skala
UMKM. Yang penting adalah sistem tersebut bisa membantu mencatat, menghubungkan, dan memberikan data yang akurat untuk pengambilan keputusan.
Pemilik usaha mainan itu akhirnya tersenyum. “Jadi intinya bukan soal sistemnya, tapi soal cara saya dan tim berpikir, ya?” Saya mengangguk. Karena itulah esensi dari transformasi digital yang efektif bukan mengganti cara kerja, tapi memperkuat cara berpikir.
Beberapa minggu kemudian, ia mulai dari langkah sederhana: menata ulang alur pesanan dan produksi, mengatur pencatatan stok bahan baku dengan format digital sederhana, dan melatih stafnya menggunakan sistem inventori berbasis Odoo yang ringan.
Tidak ada perubahan yang drastis, tetapi arah sudah terbentuk. Ia tidak lagi mengejar teknologi paling canggih, melainkan membangun sistem yang relevan dan efisien sesuai kebutuhannya.
Transformasi digital untuk UMKM tidak harus besar. Yang penting, arahnya benar dan langkahnya realistis. Karena sejatinya, perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil yang dilakukan dengan kesadaran penuh dan strategi yang tepat.


