POLITIK DAN KEADILAN

(Pesan-Pesan Tuhan)

Margo Hutomo

Allah Swt. berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya : “Hai orang- orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Maidah : 8)

Ketika kita bicara keadilan dan ingin mewujudkannya sebagai konsekuensi pelaksanaan perintah Allah di atas, maka kita tak bisa lepas dari kekuasaan, dan pada gilirannya kita dituntut terjun ke dalam dunia politik. Lalu, apakah makna politik itu ?

Pakar menyampaikan, politik merupakan kata serapan dari bahasa Yunani : politika (yang berhubungan dengan negara). Akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara, kota).

Secara bahasa, kata politik masih berhubungan dengan policy (kebijakan). Sehingga politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan dalam negara. Pengertian ini merupakan penggabungan berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Di dalam bahasa Arab, politik dikenal dengan istilah siyasah. Dalam buku/kitab para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al- Muhith, kata siyasah berasal dari kata sâsa-yasûsu. Misalnya “Sasa addawaba yasusuha siyasatan” berarti Qama‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya dan mendidiknya). Bila dikatakan “sasa al- amra” artinya ‘dabbarahu’ (mengurusi/mengatur perkara).

Jadi, makna siyasah (politik) diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan- urusan manusia; dan pelaku dari urusan- urusan manusia itu dinamai politisi (siyasiyun).

Dalam realitas bahasa Arab dikatakan, bahwa ulil amri mengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).

Rasulullah saw. menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya, artinya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para Nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”.
Jadi teranglah bahwa makna awal politik atau siyasah adalah mengurusi urusan masyarakat.

Berkecimpung di dunia politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezaliman penguasa dan melenyapkan kejahatan kaum kafir dari kaum muslimin. Oleh karenanya perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata.

Nabi saw. bersabda, artinya : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah, maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namun tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukan dari golongan mereka.”
(HR. Al-Hakim)

Menegakkan keadilan harus tanpa pandang bulu dengan segala konsekuensinya, serta berpihak pada yang lemah. Juga musti berorientasi pada tujuan bersama yang bersifat jangka panjang. Semua ini merupakan pesan- pesan substansial dan universal Al-Quran dalam kehidupan politik yang harus terus diperjuangkan dalam berbagai bentuk kontetasi politik.

Pertanyaannya, apakah manusia tidak mengetahuinya?. Faktanya dalam perjalanan sejarah politik umat manusia, sedikit sekali yang berani konsisten/istiqomah dalam melaksanakannya.

Menurut Al-Quran, sebagian besar para politisi bukannya tidak tahu, akan tetapi tidak mau melaksanakan, disebabkan orientasi berpolitiknya didominasi oleh tujuan mengejar kenikmatan duniawi yang semu (mataaul ghurur).

Sebagian dari mereka sebenarnya bersungguh-sungguh hendak melaksanakan, namun dalam perjalanannya tidak istiqomah, gagal melewati ujian berupa nikmatnya kekuasaan, terperangkap aktifitas mengumpulkan harta, serta kecintaan terhadap keluarga secara tidak proporsional (adil). Kemudian bermuara pada usaha monopoli kekuasaan serta keinginan mewariskan tahta kepada para pihak yang tidak berhak menerimanya.

Dalam bentuk kisah, ayat-ayat politik seperti ini sangat menonjol pada kisah Nabi Dawud, Sulaiman, dan Musa. Adapun yang terkait dengan pesan-pesan kepada Muhammad saw. sangatlah bervariasi. Ada yang berupa ramalan ke depan, ada pulanpelajaran dari pengalaman generasi terdahulu. Tetapi sebagian besar berupa nilai-nilai substansial dan universal yang terus hidup dan relevan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Baik untuk situasi saat ini maupun untuk waktu yang mendatang.

Pertanyaannya kemudian, apakah semua hal yang dilakukan Muhammad saw. bisa ditiru dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah dan sebagai manusia yang mendapat amanah sebagai pemimpin politik?.

Mana yang tidak mungkin diikuti dan mana pula yang wajib diteladani. Hal ini memerlukan kajian serius dan mendalam. Sebagai contoh adalah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian ini dibuat di sebuah tempat antara Makkah dan Madinah, yaitu Hudaibiyah. Nabi saw. dan para sahabat mewakili Madinah berhadapan dengan Kafir Quraisy yang mewakili Makkah untuk bernegosiasi yang kemudian bermuara pada sebuah kesepakatan.

Secara rasional, perjanjian ini ditentang para sahabatnya. Tetapi karena adanya keyakinan bahwa Muhammad saw. mendapat bimbingan langsung dari Allah Swt, maka membuat mereka tetap patuh. Terbukti di kemudian hari, perjanjian ini menjadi salah satu tonggak penting dalam Syiar Islam.

Kasus lain yang layak diangkat yaitu adanya surat-surat yang dikirim Rasulullah kepada Heraklius penguasa Bizantium, Kisra’ penguasa Persia, Najasyi penguasa Abbilyshinnia (Ethiopia), dan Muqawqis penguasa Mesir. Apakah hal serupa saat ini perlu dilakukan oleh para pemimpin muslim? Tentu membutuhkan kajian mendalam untuk menyimpulkannya.

Terlepas dari mana saja yang harus diteladani, sebagian besar ayat-ayat politik dalam Al-Quran berbentuk nilai-nilai universal dan substansial. Sehingga memiliki relevansi dalam berbagai bentuk kehidupan politik, baik skala besar maupun kecil. Tingkat tinggi seperti negara maupun dalam level yang rendah seperti kepartaian.

Contoh paling nyata adalah ayat-ayat yang menjelaskan proses penciptaan manusia, yang kemudian mendapat tugas suci sebagai Khalifah di Bumi. Yaitu sebagai wakil Tuhan yang bertugas memakmurkan bumi, atau sebagai pemimpin di muka bumi yang memiliki tugas rahmatan lil alamin, membawa kebaikan bagi bumi dan seluruh isinya (Qs. Al Baqarah : 30).

Karena itu bagi seorang muslim, apapun profesinya termasuk politisi, tidak boleh lepas dari tugas mulia yang diemban sejak ia diciptakan. Bahkan Al-Quran mengungkapkannya dalam bentuk sangat retoris, berupa perjanjian primordial antara Tuhan dan hamba-Nya, ketika masih berada di alam ruh sebelum dilahirkan ke dunia (QS. Al-A’raf : 172).

Menyadari sifat dasar manusia yang kerap lupa dan rentan tergelincir, maka dalam banyak ayat Al-Qur’an Allah Swt. berulangkali mengingatkan agar hamba-Nya mau kembali taat dengan perjanjian yang telah dibuatnya. Serta menunjukkan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang tampak dan tidak tampak, apa yang dinampakkan maupun yang disembunyikan hamba-Nya, beserta semua hal ghaib yang tidak diketahui oleh mereka.

Kemudian mengkristal dalam kalimat yang sangat ‘politis’ : “Kalian boleh saja bersiasat, akan tetapi sebaik-baik siasat adalah siasat Allah”.

Di dalam QS. Ali Imran ayat 54 Allah Swt. berfirman, artinya :
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”.

Ayat ini merupakan penjelasan atas sikap Bani Israil teehadap nabi Isa as. Mereka membuat tipu daya dan bermaksud membinasakannya dengan cara melaporkan dan memfitnah nabi Isa kepada Raja mereka. Namun Allah Azza wa Jalla memperdayakan dan menggagalkan tipu daya mereka dan tidak berhasil membunuhnya. Nabi Isa as. diangkat ke langit oleh Allah dan diganti orang yang serupa dengannya. Sehingga orang-orang yakin bahwa yang disalib itu adalah nabi Isa as.

Balasan Allah mengatasi tipu muslihat mereka, seraya menimpakan kesengsaraan kepada orang-orang kafir itu dengan tanpa mereka perkirakan. Rencana Allah Swt. yang tidak diketahui hamba- hambaNya, pada dasarnya untuk menegakkan sunnah-Nya dan menyempurnakan hikmah-Nya.

Semoga Allah Swt. dengan rahmat-Nya senantiasa memberikan perlindungan kepada negeriku Indonesia yang tercinta ini. Aamiin.
Wallahu A’lam

Batang, 4 September 2024