Imam Sutomo
Ingin tahu wajah ceria putri ayu Indonesia, lihatlah saat upacara hari Kartini. Semua siswi wajib berkebaya nasional dengan dandanan super glowing, bak bidadari turun dari kahyangan. Tidak sia-sia penggagas awal upacara yang terus mempertahankan uniform baju kebaya, sedangkan warna dan aksesoris sesuai perkembangan zaman dan selera individu.
Orang tua terkaget-kaget melihat tampilan putri “luwes banget”, ingat pepatah like mother, like daughter. Sungguh-sungguh duplikat istri si “kembang desa” yang cantik kini hadir kembali di perayaan hari Kartini.
Kajian intensif setiap tahun sudah berlimpah ruah setiap menjelang peringatan hari lahir R.A. Kartini. Telaah dari berbagai perspektif yang memosisikan Kartini sebagai pionir kesetaraan gender tidak diragukan lagi, sementara kelompok ilmuwan muslim mengkaji lebih detail tentang pemahaman wawasan agama Kartini dan komunikasi intelektualitasnya dengan Kiai Saleh Darat Semarang.
Ingar bingar medsos menggelitik para tokoh ormas ikut nimbrung bicara peran Kartini dalam konteks sosial keagamaan. Era teknologi, berbagai sumber informasi berupa buku, penelitian, jurnal, video, podcast, tulisan lepas di media sosial makin melengkapi bobot aktualitas peran signifikan Kartini bagi masyarakat Indonesia.
Kartini adalah pelaku yang mengalami langsung sebagai korban kerasnya tradisi lokal terhadap perempuan. Kartini bukan hanya teoretisi (perumus atau pengembang teori), tetapi terjun langsung dalam kubangan persoalan sosial dan mencari solusi konkretnya. Senjata utama Kartini bukan retorika di depan khalayak, melainkan rumusan gagasan yang terdokumentasikan oleh para kolega dalam wujud tulisan.
Media tulis di abad 20 masih sangat terbatas, hanya kegigihan sahabat di Belanda (EH Zeehandelaar, Rosa Manuela Abendanon, Ovink – Soer dan lainnya) yang berjasa mengumpulkan surat-surat koresponden (1998-1911) menjadi buku yang berisi gagasan Kartini. Para sahabat Kartini yang punya tradisi intelektual mengoleksi tulisan, dapat menjadi contoh efektivitas media koresponden pada zamannya.
Nyonya Ovink-Soer berkata tentang “akhlak mulia” Kartini:
“Aku belum pernah melihat apa pun selain hati emasmu. Kamu selalu penuh pengorbanan diri dan melayani cinta, kebahagiaan dan kesejahteraan lainnya selalu melampaui kamu sendiri. Semoga anak yang kamu tinggalkan tidak hanya seorang lelaki berpendidikan dan berbakat, tetapi diatas segalanya menjadi seorang lelaki mulia seperti ibunya. Ingatanmu akan selamanya tetap berada dalam ingatan kesukaanku”
(Abendanon, 1923).
Tulisan berantai unek-unek Kartini memuat ihwal kondisi masyarakat dan pengalaman hidupnya:
“Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajuan pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, ke luar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat. Ketahuilah, bahwa adat negeri kami melarang keras gadis ke luar rumah. Ketika saya sudah berumur duabelas tahun, lalu saya ditahan di rumah —saya mesti masuk “tutupan”,— saya dikurung di dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar. Saya tiada boleh ke luar ke dunia itu lagi, bila tiada serta seorang suami, seorang yang sama sekali asing bagi kami, dipilih oleh orang tua kami untuk kami, dikawinkan dengan kami, sebenarnya dengan tiada setahu kami….”
“Empat tahun, yang tak terkira lamanya, saya berkhalwat, diantara empat tembok tebal, tiada pernah sedikit juapun, melihat dunia luar. Betapa saya dapat menahan kehidupan yang demikian, —tiadalah saya tahu— hanya yang saya ketahui, masa itu amat sengsaranya”
(Armijn, 2011 [1938] : 38).
Kecerdasan Kartini serta keradikalan berpikirnya tetap menjaga kesantunan etika, tidak mengurangi rasa hormat kepada suaminya. Guru spiritual Kiai Saleh Darat mengobati kegelisahan Kartini muda yang ingin belajar esensi ajaran Islam dari sumber aslinya, bukan semata-mata kultur lingkungannya. Bacaan Al-Qur’an terjemah bahasa Jawi menggugah gairah Kartini mengkaji agama lebih intensif, sekaligus naluri kritis makin terasah untuk selalu bertanya dan bertanya.
Kritik mengalir sebagai bagian dari pengakuan hak asasi serta penghormatan otoritas berpikir pada setiap individu untuk menyampaikan gagasannya secara bebas, tanpa intimidasi pihak lain. Pertanyaan usil tentang relevansi baju kebaya yang lebih cocok untuk ritual “mantenan” dan enakan pakai baju tradisional untuk memperlihatkan keanekaragaman Indonesia. Cibiran nyinyir terhadap pakaian upacara hari Kartini yang perlu dievaluasi sesuai dengan tuntutan kebebasan individu dan keanekaragaman dalam konteks kekinian.
Ide Kartini adalah pembebasan, sedangkan pakaian “jarik kebaya” justru membelenggu si pemakainya tidak bebas bergerak, sampai jalan pun harus berlambat- lambat mirip siput. Kritik tajam tidak membebani kelompok perempuan yang tetap setia merayakan hari Kartini pada tanggal 21 April.
“Petugas SPBU Kudus tampil anggun pada hari libur (21/4/2024) melayani pelanggan dengan baju kebaya nasional” laporan aktivis perempuan yang sedang monitor luar kota. Paguyuban Dasa Wisma level RT sudah terbiasa membuat tradisi berkebaya nasional untuk pertemuan rutin menyambut hari Kartini.
Perempuan Indonesia abad 21 jauh lebih prospektif untuk pengembangan potensi secara maksimal, karena dukungan media sosial dan kepemilikan literasi teknologi. Lingkungan kampus punya tanggung jawab besar untuk memobilisasi kekuatan intelektual melalui jaringan komunitas secara bebas menyuarakan ide progresif melawan bentuk-bentuk kezaliman modern.
Kartini seorang diri (belum mengenal kolaborasi) berhasil membuka cakrawala baru masyarakat Jawa untuk maju (belum dikenal kata Indonesia), lepas dari himpitan tradisi konyolnya. Kini barisan terdidik Kartini 2024 berpeluang luas dan leluasa untuk melanjutkan gerakan emansipasi yang lebih manfaat bagi kesejahteraan hidup kelompok perempuan dan bermartabat.
Pemungkas, perempuan terdidik layak berpartisipasi aktif untuk terus menggelorakan semangat Kartini. Sehingga sungguh nyata syair lagu wajib bahwa putri Indonesia sejati memang “harum” namanya.
Kain kebaya seragam upacara
Pernik kertas indah warnanya.
Kartini muda terus berkarya
Kritik keras pun tetap diterima
Salatiga, Senin 22 April 2024
*) Prof. Dr. Imam Sutomo. Ketua PDM Salatiga 2010-2015, 2015-2022. Mantan Rektor UIN Salatiga.
Literasi/Sumber Bacaan :
• Abendanon, J.H. (ed.). (1923). Door Duisternis tot Licht: Gedachten over en voor het Javaansche. Volk. 4th ed, ’s-Gravenhage: Luctor et Emergo.
• Abendanon, J.H. (1985). Surat-Surat Kartini: Renungan tentang dan untuk Bangsanya. Terj. Sulastin Sutrisno. Jakarta. Djambatan.
• Coté, Joost. (ed.). (2014). Kartini : The Complete Writings 1898-1904. Australia: Monash University Publishing.
• Febriana, Efantino. (2010). Kartini Mati Dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dengan Freemason. Yogyakarta: Navila Idea.
• Kholqillah, Ali Mas’ud. (2018). Pemikiran Tasawuf KH. Saleh Darat Al-Samarani : Maha Guru Para Ulama Nusantara. Surabaya: Pustaka Idea.
• Marihandono, Djoko, Khozin, Nur, Arbaningsih, Dri , & Tangkilisan, Yuda B. (2016). Sisi Lain Kartini. Jakarta : Museum Kebangkitan Nasional.
• Pane, Armijn. (2011 [1938]). Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta : Balai Pustaka.