SELAMATKAN MASJID MUHAMMADIYAH

Agenda Mendesak Persyarikatan

Gus Zuhron

Suara emak-emak “garis keras” yang mengikuti shalat tarawih di sebuah masjid terdengar begitu jelas “kesuwen pak (kelamaan pak)”. Kalimat itu dilontarkan untuk menghentikan laju kultum penceramah yang tidak kunjung usai. Kultum yang mestinya selesai dalam waktu 7 menit ternyata ngelantur sampai dengan 15 menit. Penyampaiannya datar, wawasannya terbatas, dalilnya itu-itu saja, krisis guyonan, memaksakan materi, tidak relate dengan kebutuhan jama’ah adalah sekian kalimat untuk dapat menyimpulkan kultum malam itu. Wajar jika jama’ah sangat gelisah dan menginginkan agar ceramahnya segera disudahi.

Bayangkan ada berapa ribu Masjid Muhammadiyah yang da’inya mempunyai kompetensi serupa. Dakwahnya tidak mencerahkan, monoton, kaku, serius, dan kurang wawasan. Diam-diam da’i semacam itu telah berjasa besar mengusir jama’ah dari Masjid. Mereka datang ke Masjid tidak mendapatkan apa-apa kecuali sekedar menggugurkan kewajiban sholat 5 waktu. Masjid tidak lagi menjadi ajang untuk tazkiyatun nafs, mengurai problem kehidupan, diskusi organisasi, tempat refreshing yang ngangeni, dan jauh dari romantisme spiritual.

Minimnya kompetensi para pelaku dakwah akan berimbas pada banyak hal. Ini semacam multiplier effect yang menghantam masjid- masjid Muhammadiyah. Fakir wawasan dan enggan mengupdate keilmuan bisa jadi penyakit yang telah lama menjangkiti para juru kultum. Patut diduga para aktor dakwah itu belum khatam membaca kitab HPT, Tanya Jawab Agama, Tuntunan Ramadhan, Pedoman Puasa, Pedoman Zakat, Pedoman Haji, Risalah Islam dalam bidang Akhlak, Tafsir At-Tanwir, Kuliah Aqidah, Manhaj Tarjih Muhammadiyah, Fiqih Air, Fikih Kebencanaan dan seterusnya. Padahal kitab-kitab ini adalah rumusan resmi organisasi yang merupakan wawasan brilian jika dikonsumsi oleh ummat Muhammadiyah.

Dampak nyata yang dapat dirasakan adalah kegandrungan sebagian jama’ah Muhammadiyah menghadirkan para pencerah agama yang berasal dari luar Muhammadiyah. Mereknya bisa macam-macam. Ada dari Salafi, ex HTI, MTA, Tarbiyah, Jama’ah Tabligh dan lainnya. Seolah mereka lebih islami, dalilnya lebih lengkap, lebih nyunnah, dan lebih menjanjikan syurga.

Menjangkitnya penyakit gumunan di kalangan jama’ah Muhammadiyah tidak lepas dari minimnya wawasan yang mereka terima mengenai paham agama yang telah dirumuskan Majlis Tarjih. Produk pemikiran keagamaan Muhammadiyah sejatinya mempunyai keunggulan dan melampaui banyak produk pemikiran dari harokah lain. Namun keunggulan itu tidak bermakna apa-apa jika hanya berhenti pada aspek dokumen putusan. Ada kemandegan dalam proses transmisi pengetahuan dari pusat sampai ke akar rumput.

Rasanya bukan lagi cerita baru jika kita mendengar ada Masjid Muhammadiyah diambil alih oleh kelompok lain. Atau Masjid yang dulunya dikelola oleh jama’ah Muhammadiyah sekarang berpindah tangan. Ada yang menggunakan cara-cara radikal tetapi ada juga yang dengan pendekatan soft. Biasanya kalau sudah terjadi semacam itu sikap yang diambil warga persyarikatan bukan mempertahankan melainkan membuat Masjid baru. Meminjam istilah Buya Syafi’i Ma’arif, runtuhnya sebuah peradaban faktor utamanya adalah dalam diri peradaban itu sendiri. Tidak perlu berbusa-busa menyalahkan kelompok lain yang tampak piawai merayu jama’ah kita. Karena sejatinya persoalan utama ada pada tubuh aktor- aktor penggerak persyarikatan.

Langkah nyata, kongkrit, terencana, sistemik sudah seharusnya diambil untuk membendung arus gelombang migrasi minat keagamaan dalam tubuh warga persyarikatan. Masjid semestinya tidak sekedar diperbaiki dari sisi fisiknya. Jauh lebih penting adalah membangun kualitas jama’ahnya. Cukuplah wawasan khasanah keilmuan dalam Muhammadiyah itu ditanamkan seutuhnya. Cara itu akan secara otomatis membangun sistem proteksi secara alami. Jika sistem imun jama’ah sudah kuat maka virus apapun yang akan menghampiri cukup direspon dengan lirikan atau kedipan mata. Waspadalah.

15 Ramadhan 1445H/26 Maret 2024

*) Sekretaris MPKSDI PWM Jawa Tengah, Dosen Unimma.