Mengintip 3 Modus Jebakan Politik Uang

Oleh : Hanan Wiyoko, anggota KPU Kab. Banyumas

Fordem.id – Bisakah proses pemilihan pemimpin dipisahkan dari praktek politik uang? Bagi kebanyakan, barangkali jawabannya dirasakan sulit.

Namun harapan agar praktik tersebut bisa dikikis dan dihentikan, harus terus dinyalakan. Dengan mendorong sebuah proses pemilihan yang bersih dari praktik-praktik transaksional, jual beli suara, suap dan sogokan maka akan terwujud demokrasi yang substansial yang bercirikan tegaknya kedaulatan pemilih.

Dengan masih adanya praktik politik uang, maka penumpang gelap dari demokrasi masih terus membayangi.
Seharusnya, setiap individu menggunakan hak pilihnya secara berdaulat dalam menentukan pilihannya di tempat pemungutan suara (TPS).

Namun karena ada pengaruh politik uang, suara rakyat menjadi disetir dan pemberian suara di TPS menjadi tidak berdaulat. Jika terus terjadi, dikhawatirkan kualitas demokrasi akan menyusut.

Uang ongkos politik disinyalir menjadi bibit terjadinya korupsi. Karena bisa jadi, uang yang dihamburkan bukanlah uang pribadi.

Melainkan uang hasil dugaan korupsi. Bisa berupa perolehan gratifikasi, fee proyek, upeti, hasil pencucian uang, atau mark up. Yang kesemuanya akan menjadi lingkaran setan.

Bila nantinya terpilih, si pejabat bakal menghitung ‘modal politik’ yang dikeluarkan sebagai ongkos politik. Alih-alih yang dilakukan adalah menghitung balik modal, menghitung impas / break event point (BEP). Kalau demikian, siapa yang dirugikan? Ya yang dirugikan adalah rakyat.

Anda mau dirugikan? Tentu tidak. Karena itu, perlu dikenali modus-modus politik uang.

Pertama, apabila sumber pendanaan kandidat atau parpol berasal dari cukong/bohir/sponsor yang melakukan bisnis tertentu, maka kuat diduga akan ada kebijakan-kebijakan transaksional.

Bisa jadi nantinya, arah kebijakan setelah menjabat turut dikendalikan oleh kepentingan si pemodal. Dengan demikian, si pemodal mampu ‘menyetir’ untuk kepentingan-kepentingan pengembalian modal yang sudah dikeluarkan untuk pendanaan pemenangan si kandidat/parpol.

Bisa jadi muncul bisnis-bisnis yang menguntungkan golongan tertentu atau bahkan melindungi/membacking bisnis-bisnis haram.

Kedua, penempatan caleg dalam daftar tetap dipengaruhi oleh kekuatan modal sehingga parpol rawan menempatkan orang-orang yang kuat secara amunisi dan bukan karena kinerja sebagai kader parpol.

Selain itu, dalam proses kampanye, pengaruh money politics bisa menggeser kecenderungan pemilih untuk mencoblos pemilih yang membagikan nominal uang atau bantuan, daripada mencoblos kandidat yang menawarkan visi-misi dan program kerja.

Bila ini terjadi, maka kualitas wakil rakyat maupun pemimpin nasional  bisa dipastikan buruk. Karena yang terpilih adalah karena pengaruh uang, bukan rekam jejak atau kemampuan calon.

Ketiga, para pemilih perlu mewaspadai terjadi ‘hujan bantuan’ atau ‘serangan fajar’ pada tahapan Pemilu. Waktu-waktu yang rawan terjadi politik uang adalah saat masa kampanye, masa tenang, dan menjelang hari H pemungutan suara.

Pemilih perlu dididik bahwa, pemberian bantuan yang bernuansa politis dan pemberian wuwur atau politik uang adalah bukan kesempatan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Karena perlu diingat, bisa jadi uang dan bantuan yang dibagi-bagikan tadi adalah uang haram/hasil korupsi/bancakan proyek yang justru akan menjadi ladang korupsi baru di masa mendatang.

Perlu ditanamkan, dengan menolak politik uang berpeluang untuk memutus mata rantai korupsi dan menciptakan pemerintahan yang bersih. 

Karena itu, untuk memutus politik uang perlu itikad bersama. Dari peserta pemilu, penyelenggara pemilu, dan pemilih.

Peserta pemilu perlu keteguhan komitmen untuk tidak melakukan politik uang. Penyelenggara pemilu berkomitmen untuk membuat regulasi yang mendukung pencegahan politik uang, dan bila ada pelanggaran maka perlu ditindak tegas.

Sedangkan bagi pemilih, perlu menjadi pemilih cerdas dengan memilih sesuai hati nurani dan melaporkan bila terjadi politik uang.

Dengan demikian, mata rantai politik uang bisa dihilangkan. (*)