SLAMETAN “DUN-DUNAN” KAPAL

Opini15 Views

Oleh: Khafid Sirotudin Ketua LP UMKM PWM Jateng

Alunan musik dangdut koplo terdengar rancak di pinggir sungai Kalikuto dukuh Tegalsari, desa Gempolsewu, Rowosari, Kendal, Rabu malam, 23 Oktober 2024. Lagu Juragan Empang yang dipopulerkan Nella Kharisma 6 tahun lalu seakan menyambut kedatangan kami. Ratusan anak buah kapal (ABK) Putra Mandiri Jaya (PMJ) tampak menikmati hiburan grup musik yang dihadirkan oleh shahibul hajat, kaji Kasan, panggilan akrab Haji Nur Hasan.

Saya sengaja “nglegakke” (meluangkan waktu) untuk datang setelah diberitahu dan diundang 2 pekan lalu saat silaturahmi ke rumahnya di Cepiring. Saya kenal dan berteman baik dengan kaji Kasan sudah lama.

Eyang dan orang tuanya dikenal sebagai petambak di daerah pesisir Cepiring dan Patebon. Keluarga besarnya adalah warga dan simpatisan persyarikatan yang telah mewakafkan tanah dan bangunan untuk Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah (PAYM). Salah satu dari 15 PAYM yang saat ini dimiliki PDM dan PD Aisyiyah Kendal. Selain sebagai saudagar kapal ikan, beliau juga petambak udang dan bandeng di daerah Tawang Laut seluas 15 hektar.

Slametan atau kenduri adalah sebuah tradisi yang umum diadakan oleh masyarakat Jawa. Slametan biasanya diadakan untuk merayakan berbagai macam acara peringatan seperti kelahiran bayi, pernikahan, upacara kematian (takziyah), syukuran selesai membangun rumah (slup-slupan) dan berbagai keperluan lain. Sebuah budaya keagamaan yang telah lama dilakukan masyarakat Jawa turun-temurun. Begitu juga dengan slametan “dun-dunan kapal” (menurunkan kapal dari dok ke sungai) di kampung nelayan Tawang desa Gempolsewu.

Tradisi budaya yang dilakukan kalangan nelayan Gempolsewu yaitu mengadakan “lek-lekan” (malam tirakatan) sehari sebelumnya dan esok paginya baru dilaksanakan doa bersama yang dipimpin kyai kampung serta diikuti oleh ABK, keluarga dan warga sekitar.

Selain hidangan “sego golong” (nasi putih dibungkus daun pisang) yang disertai lauk-pauk “ingkung” (ayam utuh) dan aneka ikan segar bakar atau goreng, juga ada infaq ke masjid atau mushola terdekat. Besarannya tergantung kerelaan dan keikhlasan pemilik kapal. Biasanya berkisar 3 hingga 10 juta Rupiah.

Setelah sarapan bersama, kapal diturunkan ke sungai secara gotong royong. Kapal yang telah ditambatkan di pinggir sungai, selanjutnya akan disempurnakan dengan semacam ruangan bagi juru mudi (nahkoda) dan ABK, palka untuk ikan tangkapan, mesin, jaring dan peralatan lain. Dikerjakan sekitar 2 bulan sebelum kapal siap melaut.

Total waktu yang dibutuhkan untuk membuat sebuah kapal selama 9 bulan, termasuk merangkai badan kapal di darat selama 6-7 bulan. Bahan dasar dinding kapal berasal dari kayu jati pilihan yang dilapisi serat fiber. Biaya yang dibutuhkan untuk membuat satu kapal PMJ jenis “cakalang” kapasitas 28 GT (Gross Tonage), panjang 14 m, lebar 6,5 m dan tinggi 1,8 hingga 2 m senilai Rp 2 Milyar.

Kapal yang akan dilakukan dun-dunan besok pagi adalah kapal PMJ ke 9. Kapal PMJ 1 hingga 8 terlihat parkir di pinggir sungai Kalikuto, berjarak 10-an meter dari panggung hiburan malam ini.

Jika sebuah kapal ikan mampu mempekerjakan maksimal 30 orang (1 juru mudi dan 29 ABK), maka terdapat 270 orang nelayan yang bekerja alias “nguripi” (menghidupi) 270 KK. Waktu yang dibutuhkan sekali melaut selama 10-12 hari atau 2 kali dalam sebulan.

Spirit Gotong Royong

Semangat gotong royong di kalangan nelayan sangat tinggi. Mereka bekerja “toh nyowo” (mempertaruhkan nyawa) saat melaut mencari ikan. Mereka bekerja tidak berdasarkan ijazah yang dimiliki. Namun lebih pada pengalaman, keterampilan, keberanian serta kesabaran menjalani profesi yang turun temurun dipelajari secara “learning by doing” (belajar sambil mengerjakan/bekerja) dari orang tua, teman dan tetangga. Laksana tukang batu atau tukang kayu yang berkarier secara bertahap mulai dari “kenek tukang”, tukang amatir lalu menjadi tukang yang mahir.

Nelayan kapal “cakalang” biasa istirahat sepekan, sebelum dan sesudah bulan purnama. Mereka “puasa melaut” sebagaimana sebagian kaum muslim melakukan puasa ayyaumul bidh (setiap tanggal 13-15 bulan Hijriyah). Selama tidak melaut, mereka gunakan untuk memperbaiki jaring yang robek, menservice mesin kapal (ganti oli, tune-up), mengganti lampu yang mati, serta istirahat dan “ternak teri” (nganter anak nganter istri) ke sekolah atau pasar.

Jika nasib baik dan sedang musim ikan, crew kapal bisa pulang lebih cepat 2-3 hari karena sudah mendapatkan ikan yang telah memenuhi ruang palka ikan. Biasanya ikan hasil tangkapan dilelang di TPI Pekalongan atau Tawang senilai Rp 200 juta-an. Dikurangi biaya perbekalan (solar, es batu, makan-minum, rokok) Rp 40-50 juta sekali melaut serta biaya Retribusi Lelang 2,5% maka pendapatan bersih hasil lelang dibagi 2. Separo untuk pemilik kapal, separo untuk crew.

Bagian penghasilan crew kapal dibagi secara adil “gandeng renteng”, dimana bagian juru mudi (nahkoda) sebesar 10% dan sisanya 90% ditasyarufkan “ondo usuk” (proporsional) untuk seluruh awak kapal yang ikut bekerja saat itu.

Dengan kata lain, juru mudi mendapatkan penghasilan bersih Rp 10-15 juta dan setiap ABK mendapatkan sekitar Rp 4 juta hingga Rp 6 juta sekali melaut. Penghasilan sebulan berapa, tinggal dikalikan dua.

Sebuah penghasilan yang lumayan besar dibandingkan gaji buruh pabrik industri lulusan SMK yang berdasarkan UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota). Bagi keluarga nelayan yang “gemi, setiti, ngati-ati” istri nelayan di rumah biasanya bekerja sambilan menjadi bakul ikan atau membuat ikan panggang dan blenyik.

Gemi, setiti, ngati-ati mengandung pengertian mendalam, dimana pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah (ikan) harus dilakukan secara hemat (gemi : bukan pelit/bakhil), teliti dan cermat (nastiti, setiti : tidak mengulur waktu), berhati-hati (ngati-ati) bukan ceroboh atau serampangan.

Anda tertarik untuk menjadi nelayan kapal ikan atau sebagai petambak dan juragan kapal ikan? Yang jelas dan pasti, tidak ada kesuksesan yang diraih secara instan.

Tiada artinya kita memiliki ijazah Sarjana Perikanan/Kelautan atau lulusan SMK apabila tidak memiliki nyali dan masih mabuk laut ketika berlayar. Tiada manfaatnya sumber daya kelautan kita yang luasnya ⅔ dari wilayah Indonesia, jika sedikit warga yang mau dan mampu bekerja secara baik di sektor perikanan tangkap.

Jangan-jangan lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut pun sudah tidak pernah diajarkan di bangku sekolah PAUD, TK dan SD. Diganti lagu Pop Korea atau Sailing-nya Rod Stewart.

Wallahu’alam

Weleri, 25 Oktober 2024

*) Red. Fordem.id