Pahami ! Politik Uang Bukan Rezeki Tapi Dosa

Oleh : Imam Setiobudi

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 di Indonesia dilaksanakan pada hari ini (27/11/2024). Perhatian publik kembali diarahkan pada kekuasaan demokrasi yang seharusnya berpijak pada kedaulatan rakyat. Namun, masih saja ditemukan tantangan demokrasi berupa isu pelanggaran meliputi netralitas, intimidasi dan praktik politik uang atau money politic.

Politik uang bukanlah bentuk rezeki yang membawa berkah, melainkan sebuah dosa yang menciderai moralitas dan nilai-nilai demokrasi. Dalam Islam, tindakan ini dikategorikan sebagai risywah atau suap, yang diharamkan secara tegas oleh Al-Qur’an dan Hadis. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah melalui Majalah Suara Muhammadiyah (Edisi 1-15 Maret 2024) menyatakan bahwa politik uang tidak hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga merusak hubungan antara rakyat dan pemimpin yang seharusnya dibangun atas dasar amanah dan tanggung jawab.

Dalam jangka pendek, uang yang diterima mungkin tampak seperti bantuan ekonomi atau bahkan ada yang menyebutknya “sedekah”. Namun, dalam pandangan Islam, ini adalah “uang haram” yang tidak membawa keberkahan, bahkan mengundang musibah. Rakyat yang menerima uang tersebut ikut andil dalam melanggengkan pemimpin yang tidak jujur dan tidak amanah.

Suap, meski diberi istilah lain seperti hibah atau sumbangan, tetap dianggap dosa besar, terutama karena berpotensi merusak moral dan mental masyarakat.

Hal ini berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ࣖ

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”

Dalam perspektif Islam, politik uang termasuk dalam bentuk kezaliman yang merusak kehidupan, sebagaimana dinyatakan dalam ayat QS al-Baqarah ayat 205, yang memperingatkan bahaya perilaku pemimpin zalim yang merusak tatanan sosial.

وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

“Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.”

Lebih jauh, Muhammadiyah memandang bahwa politik uang tidak hanya melanggar hukum agama tetapi juga merusak nilai-nilai kejujuran, yang menjadi fondasi penting dalam kepemimpinan. Politik uang menciptakan budaya tidak jujur dan mendorong korupsi yang menggerogoti moral bangsa. Muhammadiyah menyerukan bahwa rakyat harus memiliki kesadaran kolektif untuk menolak politik uang sebagai bentuk tanggung jawab moral dan keagamaan. Memilih pemimpin bukanlah soal keuntungan material jangka pendek, melainkan tanggung jawab spiritual dan sosial untuk masa depan yang lebih baik.

Referensi:

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, “Hukum Politik Uang (Money Politics)”, Majalah Suara Muhammadiyah Edisi 1-15 Maret 2024.