Jangan Cepat Memvonis Anak

Today's Inspiration Bagian Ketigapuluh Lima

#Teacher’s Inspiration Serial 15

Oleh: Lukman Hakim

Every child deserves a champion—an adult who will never give up on them, who understands the power of connection, and insists they become the best they can possibly be.” (Dr. Rita Pierson – American Motivator)

( Setiap anak berhak atas seorang juara—orang dewasa yang tidak pernah menyerah padanya, yang memahami kekuatan koneksi, dan bersikeras bahwa ia bisa menjadi yang terbaik.)

Di sudut-sudut sekolah, kita mungkin melihat dan menemukan anak yang sering disebut “nakal”, “bodoh” “pembangkang”, atau bahkan “pemberontak” dan “otak udang”. Mereka adalah anak-anak yang sering keluar masuk ruang BK, sering kena teguran guru, atau bahkan menjadi bahan keluhan banyak guru. Namun, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: Apa yang sebenarnya terjadi dalam diri mereka?

Bertahun-tahun kemudian, anak-anak ini mungkin akan mengenang masa sekolah mereka dan berkata dalam hati, “Aku memang sulit waktu itu. Tapi andai saja ada seorang guru yang bisa melihat potensiku dan bertahan mendampingiku…”

Terlalu sering, sistem pendidikan dan kita para pendidik terlalu cepat memberi label. Anak yang aktif disebut pembuat onar. Anak yang diam dianggap tidak mampu. Anak yang tidak tertarik belajar dicap pemalas. Padahal, di balik setiap perilaku, selalu ada alasan. Dan di balik setiap anak, selalu ada potensi besar yang menunggu untuk ditemukan.

Siapa tak kenal tokoh besar seperti Thomas A Edison (Penemu lampu Listrik) Albert Einstein (tokoh Fisika), Steve Jobs (Pendiri Apple) Michael Jordan (pemain basket), Winston Churchill (eks PM Inggris) atau Oprah Winfrey (Tokoh Media) dan Van Beethoven.

Mereka adalah para pengusaha sukses, seniman terkenal, dan pemimpin inspiratif pernah mengalami masa-masa sulit di sekolah. Mereka dianggap bodoh, malas, bahkan gagal. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah: mereka belum menemukan guru yang tepat—guru yang sabar, penuh empati, dan mampu melihat lebih dari sekadar nilai rapor dan perilaku di kelas.

Pendidikan sejatinya bukan sekadar mentransfer ilmu, tetapi menyentuh hati dan menyalakan harapan. Guru bukan hanya pengajar, tetapi juga pembaca potensi dan penjaga harapan. Tugas kita adalah mencari celah, menebar kasih, dan terus percaya bahwa di balik kegaduhan dan pelanggaran, ada jiwa yang ingin didengar dan dipahami.l

“Think about the ‘worst’ kids in the school. Many years from now, they may reflect back on their school experience. They’ll realize they were challenging. But they may think: “I just wish there had been a teacher who could see my potential and was able to stick with me”

(Pikirkan tentang anak-anak ‘terburuk’ di sekolah. Bertahun-tahun dari sekarang, mereka mungkin mengenang kembali pengalaman sekolah mereka. Mereka akan menyadari bahwa sekolah mereka penuh tantangan. Namun, mereka mungkin berpikir: Saya hanya berharap ada seorang guru yang dapat melihat potensi saya dan mampu menemani saya.)

Mari, kita ubah cara pandang. Jangan buru-buru menvonis anak. Sebab bisa jadi, di balik anak yang hari ini dianggap paling “nakal”, tersimpan potensi untuk jadi seorang pemimpin masa depan, inovator hebat, atau pribadi luar biasa—yang hanya butuh satu hal: seorang guru yang percaya padanya.