Impian, Naluri, dan Semangat Hidup (Menilik karakter Daun pada novel The Hen Who Dreamed She Could Fly)

Pada umumnya penikmat fabel adalah anak-anak hingga pra remaja karena imajinasi penggambaran karakternya menarik, yaitu hewan yang bertutur dan bertingkah seperti manusia. Sejujurnya saya tidak menyangka ketika memutuskan untuk membeli buku ini. Bayangan saya, ceritanya adalah klise dan dangkal seputar impian yang kemudian menjadi kenyataan, dengan konflik dan penyelesaian yang sudah bisa ditebak di awal. Ternyata saya keliru. Novel The Hen Who Dreamed She Could Fly karya Hwang Su Mi benar-benar mengungkapkan kehidupan yang sebenarnya lewat karakter Daun, seekor ayam petelur yang sangat menginginkan menikmati kodratnya sebagai “perempuan”, yaitu bertelur, mengerami telurnya, mengasuh, dan membesarkan anak-anaknya.

Daun, ayam petelur di sebuah peternakan yang tinggal di kandang. Setiap hari ia hanya dapat melihat dan membayangkan betapa enaknya hidup bebas di halaman seperti pasangan ayam jantan dan ayam betina. Mereka terlihat sehat dan bahagia karena dapat leluasa bergerak, menikmati udara bebas bersama kelompok bebek dan seekor anjing penjaga rumah. Keinginan itu terus mengusik pikirannya hingga suatu hari ia menyadari bahwa tidak dapat lagi menghasilkan telur. Telur terakhirnya terlalu lunak tanpa cangkang. Bahkan semakin sakit hatinya ketika istri peternak melemparkan telur lunak itu ke halaman untuk dijilati anjing penjaga. Kesehatan Daun semakin menurun, tidak lagi bertelur, dan peternak membuangnya di tempat pembuangan ayam. Awalnya dia senang karena dapat keluar dari kendang ayam. Namun, ternyata ia keliru. Daun harus berjuang melawan kerasnya kehidupan di luar peternakan. Ia harus berjuang keras mencari makan, tempat yang aman dari incaran musang, dan ditolak oleh penghuni halaman.

Kebebasan hidup di luar memang tidak mudah. Ia harus berani menghadapi hewan pemburu dan selalu berpindah tempat agar jejaknya tidak tercium oleh musang yang lapar. Hingga pada suatu hari ia menemukan sebutir telur yang baru saja ditinggalkan induknya kerena dimakan musang. Telur itu berbeda. Warnanya kehijauan dan ukurannya lebih besar dari telur yang biasa ia keluarkan. Ia merasa impian untuk mengerami telur menjadi kenyataan. Dengan tulus dan tetap waspada ia mengerami sampai akhirnya telur itu menetas. Daun harus menerima kenyataan bahwa “anak”nya berbeda dengan dirinya. Seekor anak bebek liar yang ia beri nama Jambul Hijau.

Naluri keibuan Daun sangat menonjol ketika ia harus melindungi Jambul Hijau. Meskipun anaknya memiliki kebiasaan berbeda seperti berenang di bendungan, mencari ikan kecil, dan sesekali berlatih terbang, Daun tetap memperlakukan Jambul Hijau selayaknya anak ayam. Ketika Jambul Hijau ketakutan dan tidak aman, Daun segera sigap melindungi Jambul hijau di bawah sayapnya. Begitu juga ketika suatu malam Daun merasakan datangnya musang yang akan menyerang mereka, ia mengerahkan seluruh keberanian, bersiap dengan kekuatan paruh dan kukunya yang tajam, tanpa menghiraukan keadaan bahwa ia bukan lagi ayam betina yang kuat dan muda. Daun sangat marah ketika mendengar jeritan Jambul Hijau yang nyaris digigit musang. Secepat kilat Daun melabrak, mencengkeram kepala, dan mematuk salah satu mata musang sampai terlepas. Ketika Daun terluka dan tidak sadar diri, ia tidak mengetahui bahwa Jambul Hijau selamat dari terkaman musang karena ia dapat terbang. Sejak saat itu mereka selalu berpindah tempat untuk menghindari kejaran musang yang ingin membalas dendam.

Ketika musim dingin tiba, Jambul Hijau telah tumbuh menjadi bebek pengelana dewasa. Ia bergabung dengan kawanan bebek dan menjadi penjaga. Daun semakin tua, kurus dan tidak lagi bertenaga. Ia juga tidak dapat selalu berdekatan dengan Jambul Hijau karena mereka memang berbeda. Jambul Hijau berat untuk berpisah dengan Daun yang sangat menyayangi dan selalu melindunginya. Ia sangat mengkhawatirkan Daun karena tidak dapat terbang ataupun berenang untuk menyelamatkan diri dari musang. Jambul Hijau tidak dapat menahan kesedihan berpisah dengan Daun, ibunya. Sebagai ibu, Daun berusaha menutupi perasaan dan berusaha tegar. Ia meyakinkan Jambul Hijau dengan mengatakan bahwa dirinya tidak akan kesepian karena akan selalu ditemani kenangan dan kepuasan batin karena telah melalui hari sebagai seorang ibu. Daun merasa telah menjadi ibu yang sempurna dengan mengerami, membesarkan dengan kasih sayang, dan membersamai Jambul Hijau hingga dewasa. Alasan inilah yang menjadikan Daun kuat menghadapi kematiannya. Ia rela menjadi santapan musang betina, musuhnya, agar anak-anaknya tidak lagi kelaparan.

Sebelum perjalanan Daun berakhir, ia sempat menyaksikan Jambul Hijau terbang bersama kelompok bebek pengelana untuk memulai perjalanan migrasi ke danau di seberang bukit. Seketika itu Daun menyadari bahwa ada kesamaan pada dirinya dan Jambul Hijau. Ia memiliki sayap. Kehidupan di kendang dengan tanpa kekurangan makan membuat dia tidak dapat terbang, bahkan menyelamatkan diri ketika keadaan terjepit karena serangan musang. Daun tidak pernah mengajari Jambul Hijau terbang, tetapi karena berlatih dan terus melakukan akhirnya dapat terbang dengan sempurna.

Karakter Daun menggambarkan kehidupan yang sebenarnya. Daun memimpikan kebebasan layaknya manusia pada umumnya, menjadi ibu dengan naluri dan apa yang semestinya perempuan lakukan. Secara rutin ia bertelur, namun tidak satupun yang dapat dierami karena menggelinding ke luar kendang besi dan diambil oleh majikannya. Sebagai gantinya, sang majikan memberinya makanan bergizi agar ia dapat menghasilkan telur berkualitas. Kehidupan yang teratur dan tidak pernah kekurangan justru membuatnya bermimpi untuk melakukan hal baru di luar kandangnya. Hal ini tidak berarti bahwa Daun memiliki sifat serakah dan tidak nrimo ing pandum, tetapi karena dorongan yang kuat dari dalam dirinya untuk menjadi perempuan yang sesungguhnya. Yakni, menjadi ibu bagi anak-anaknya.

Ada kesamaan sifat yang menonjol dari karakter Daun dengan kita, kaum ibu. Pengorbanan tulus seorang ibu yang rela berjuang tanpa pamrih, bahkan mengesampingkan kekurangan diri hanya untuk kebahagiaan anak semata. Tentu tidak mudah menghadapi situasi di mana lingkungan menggunjingkan seorang ibu yang memiliki anak yang berbeda. Namun, hal ini justru menguatkan hubungan batin antara ibu dan anak, menyadari kekuatan dan kelemahan, berani menabrak segala rintangan, bukan untuk dirinya, tetapi untuk kepentingan si anak.

Perasaan seorang ibu tidak akan pernah dapat digambarkan atau diuraikan dengan cara apapun, terlebih lagi ketika si anak yang selalu dalam dekapannya mulai beranjak dewasa dan harus menentukan pilihan hidupnya. Gelombang konflik dan perang batin pasti terjadi, antara merengkuh atau melepaskan dengan ikhlas. Tidak jarang batin menangis karena merasa apa yang telah dilakukan untuk buah hati seperti sia-sia ketika si anak harus pergi untuk masa depannya, atau telah menemukan pilihan hatinya yang pada akhirnya menikmati kebahagiaan bersama pasangan hidupnya. Sedang si ibu kembali dalam pelukan sepi dan menjalani hari-hari sendiri. Namun, ketika berhasil meredam dan menyingkirkan ego demi anaknya, seorang ibu akan lebih nyaman menjalani hidup karena telah berhasil membersamai si anak sampai siap menghadapi dunia.

Pelajaran hidup yang sangat mengena dan dapat kita ambil dari keadaan Daun adalah tentang potensi diri yang sering terlupakan. Kenyamanan, kesenangan, maupun kemudahan ternyata bisa membuat kita tidak menyadari talenta atau potensi yang Allah berikan. Bahkan potensi itulah yang sebenarnya dapat menolong kita saat menghadapi kesulitan. Namun, tidak sedikit pula manusia yang sebenarnya mengetahui potensinya tetapi tidak mau mengasah dan memilih mengatakan tidak bisa sebelum mencobanya.

Daftar bacaan:
Sun-Mi, Hwang. 2020. The Hen Who Dreamed She Could Fly. Tangerang Selatan: BACA

*) Sri Walji Hasthanti, M.Pd adalah Guru SD Muhammadiyah Plus Salatiga, Pengajar Praktik Guru Penggerak Kota Salatiga