Oleh: Gus Zuhron
Fordem.id – Ada seorang mahasiswa datang dengan sangat percaya diri untuk mengumpulkan tugas. Mahasiswa itu dengan senyum ramah menyodorkan sobekan kertas kecil bertuliskan tangan yang sulit dibaca sambil mengatakan “Pak saya mau ngumpulkan tugas sebagai pengganti ujian”. Tanpa basa-basi langsung pamitan karena merasa beban hidupnya sudah kelar.
Saya hanya diam menahan marah sambil ketawa kecil karena tidak percaya pada pemandangan yang barusan terjadi. Bagaimana mungkin membuat tugas pengganti ujian hanya dengan sobekan kertas kecil?
Peristiwa lain yang tidak kalah menarik adalah cerita seorang dosen yang membuat soal ujian dengan gaya analisis dan critical thinking. Soal itu didesain dengan konsep tidak mungkin mahasiswa satu dengan yang lainnya jawabannya akan sama. Namun harapan sang dosen tinggal harapan. Hasil ujian satu kelas bisa seragam, kompak dan seirama. Setiap kata dan kalimat dalam lembar jawaban tersusun rapi dan persis. Kelas yang berisikan sekitar 30 orang itu tidak menyisakan satupun kalimat yang berbeda.
Dosen yang agak senior itu menceritakan betapa sedih hatinya ketika mendapati mahasiswa presentasi tidak lebih kualitasnya daripada kumpulan RT. Saat presentasi membaca teks dan pada saat menjawab pertanyaan mereka sibuk mencari jawaban di google. Biasanya mereka akan mengatakan “pertanyaan kami tampung terlebih dahulu, dan kami akan mendiskusikan beberapa menit untuk menyampaikan jawabannya”. Yang dimaksud diskusi bukan benar-benar diskusi, tapi mereka sibuk pegang hand phone untuk bertanya pada mbah google.
Ada seorang dosen yang mengeluhkan kenapa mahasiswa yang diajar begitu pasif. Disuruh tanya tidak ada yang bertanya, dan ketika ditanya tidak ada yang mau menjawab. Suasana kelas lebih mirip taman makam pahlawan. Tidak ada kegembiraan akademik, tidak ada dialektika yang menarik, admosfir keilmuan seperti tenggelam di tengah hingar-bingar jagat media sosial yang lebih seksi untuk disimak.
Kelas online juga menyisakan cerita yang menyayat hati. Setiap link dishare dan kuliah mulai berlangsung, kebisingan sering terjadi karena ada yang kelupaan “mute”. Mereka ada yang sambil ngobrol, nyopir di jalan, asik di rumah makan, jadi wasit di sebuah pertandingan, sibuk kerja, tidak mau on camera karena takut ketahuan amal dan perbuatannya. Bahkan ketika sang dosen sudah berbusa-busa menyampaikan materi kemudian memberikan kesempatan untuk bertanya suasana mendadak hening. Tetapi begitu dosen mengatakan “mari kita akhiri kuliah hari ini dengan bacaan hamdalah” semua kompak menjawab “alhamdulillahi robbilalamin, terima kasih pak”.
Lain lagi cerita dosen yang mencoba mengikuti gaya belajar anak-anak milenial dan Gen-Z. Sesekali kuliahnya sambil jalan-jalan, pindah dari kelas ke tempat- tempat yang menyenangkan, membuat proyek, memberikan tugas di cafe, mencarikan tugas yang tidak memberatkan. Tetapi hasil akhirnya ternyata memprihatinkan. Mereka hanya senang jalan-jalannya tetapi tidak satupun materi yang diberikan dapat tertangkap dengan baik.
Tidak hanya cerita dari dosen senior, cerita dari para dosen muda juga sama. Mereka menjumpai persoalan yang unik dan menggelitik. Contohnya, ada mahasiswa ketika ditanya dengan sebuah pertanyaan “menurut saudara…” pertanyaan itu tidak dijawab dengan memaksimalkan daya nalar dan argumentasi, tetapi mereka mencari jawaban di internet.
Dunia memang tengah berubah, semua yang terjadi hari ini sejatinya adalah pertaruhan tentang masa depan. Ada disparitas pemikiran dan budaya hidup yang menghawatirkan. Teknologi dengan segala kecanggihannya memang menawarkan kemudahan, tapi sisi gelap dari teknologi adalah nyata.
Sayangnya sisi gelap itu belum menemukan jalan terang untuk mengurainya. Akhirnya para maha guru itu hanya bisa termenung sambil teringat sebuah kolom pojok koran Kedaulatan Rakyat yang judulnya “sungguh-sungguh terjadi”. Entahlah…
Jum’at, 06 Desember 2024 pukul 08.34 sambil sarapan pagi di tempat rahasia