Imam Sutomo
Pernahkah terbayang manusia super dermawan mampu menjamu penduduk untuk makan daging secara kolektif setiap tahun?
Sudahkah terjadi jenis gelontoran dana yang mengundang daya tarik warga membelanjakan daging untuk anggota keluarga?
Teori apa yang memikat warga dunia, tanpa penolakan untuk konsumsi daging dalam waktu yang sama?
Daya magnet apa yang mendorong warga muslim memilih hari khusus, bukan Ramadan atau Januari?
Seabrek pertanyaan mengiringi peristiwa Sepuluh Zulhijah setiap tahun, demikian pula para cendekia tidak putus terus menggali esensi ritual ibadah haji dan kurban yang bermula dari kisah perjalanan Nabi Ibrahim.
Khotbah ‘Id sering menguraikan jenis ibadah di seputar bulan Zulhijah, perintah berkurban, hikmah korban, kisah heroik pengorbanan Ismail, doa untuk sahabat dan keluarga yang sedang menunaikan ibadah haji, dan berujung imbauan kepada jemaah mengambil ibrah (hal atau kejadian yang dapat dijadikan pelajaran) dari keteladanan Nabi Ibrahim. Setahun sekali cerita berulang (maaf jika menjemukan), jemaah yang punya limpahan rezeki tidak bosan berkorban kambing atau patungan dengan orang lain berkorban sapi.
Sulit dimengerti pakai standar nalar umum kelompok warga di sebuah Kampung di Kecamatan Batur Banjarnegara tahun 2024 mampu menghimpun 74 sapi dan 293 kambing korban. Walaupun tanda-tanda zaman cenderung pragmatis dan egois, ternyata gairah berkorban masyarakat makin meningkat, seiring dengan intensitas gerilya dakwah model kampung berbasis teknologi.
Ratusan ribu masjid di Indonesia berpesta daging sebagai simbolisme rasa patuh, taat kepada Pemilik Jagat, sekaligus manifestasi rasa kedermawanan dan “semangat berbagi” kepada semua warga yang menjadi esensi doktrin agama.
Idul-adha sudah pasti tanggal 10 Zulhijah sesuai ketentuan syariat, titik. Boleh-boleh saja ulama super cerdas yang bersitegang berbeda tanggal pelaksanaan salat ‘Id bersamaan dengan waktu Saudi Arabia atau sesuai Indonesia.
Argumentasinya sudah dipasang jauh-jauh hari bahwa perbedaan itu hal lumrah, jangan dibesar-besarkan, semua ada dasar hukumnya, itu kata akhir untuk menyetop dialog. Orang awam tidak harus larut dalam debat dalil, para dai dan takmir masjid sangat bijak mengajak jemaah lebih fokus pada kesungguhan niat ikhlas berkurban.
“Saya bersyukur bisa ikut berkurban lagi, saya merasakan kenikmatan juga ketika daging dibagikan warga, meskipun saya tidak ikut menikmatinya,” pengakuan penderita penyakit berpantang makan daging kambing. Senin sore sebagian warga Indonesia berpesta merayakan makan daging dalam berbagai bentuk makanan, entah sate, gule, sop, atau lainnya.
Gerakan warga tanggal 10 Zulhijah bernuansa keakraban memotong-motong atau mencacah-cacah daging/tulang. Tidak lagi terdengar satu kata pun obrolan ngrumpi pemerintahan atau calon bupati/wali kota yang gambarnya banyak terpasang. Agaknya mubazir waktu, mendingan kerja ekstra agar segera selesai tugas iris-iris dan mendapatkan jatah untuk dibawa pulang.
Bukan besar-kecil isi tas kresek, tetapi kehadirannya untuk bergabung dengan ibu-ibu sangat melegakan napas, setara pertemuan Dasa Wisma 11 kali. Harga persahabatan sangat mahal, tidak dapat ditebus dengan uang, untunglah kerja potong daging (KPD) secara kolektif mengubah wajah murung kembali ceria. Asas gotong royong bukan slogan kosong, jelas dipraktikkan di halaman seputar masjid.
Duduk selama 2-3 jam mengiris-iris daging itu sebuah kenikmatan tersendiri, bau amis darah, keringat, dan parfum menyatu. Masih kalah dengan bau kotoran kambing sapi, breeeenggg…. semua spontan memijat hidung dan tertawa ngakak.
Kurban dan penziarah ke tanah suci makin meningkat setiap tahun itu sebuah fenomena aneh bagi orang anti agama. Daya pikat apa yang membuat umat Muhammad mau-maunya buang uang untuk rekreasi atau potong binatang? Para pecinta hewan yang iba dengan isak tangis sapi kambing yang disembelih juga tidak dapat menjawab jutaan binatang disembelih setiap hari untuk konsumsi warga dunia dan keuntungan bisnis.
Muslim berkurban dilandasi niat mengikuti ajaran agama, bukan motif keuntungan ekonomi. Dalam ritual ibadah korban jelas berdampak ekonomi bagi pemasok/penyuplai binatang.
Berhenti sejenak dari hiruk pikuk perbedaan warna, aliran, dan kelompok agama, masuklah pada wilayah esensi ajaran agama yang mewujud dalam bingkai kemanusiaan, hampir pasti akan menemukan “keindahan ibadah kurban yang jelas sangat memberikan kemaslahatan umat”
Salatiga, Senin 17 Juni 2024
*) Prof. Imam Sutomo, Ketua PDM Salatiga 2010-2015, 2015-2022. Guru Besar UIN Salatiga